SEJARAH PERPUSTAKAAN DUNIA
Perkembangan perpustakaan tidak
lepas dari sejarah manusia, karena Perpustakaan
merupakan produk manusia.Dalam
sejarahnya, manusia mula-mula mengembara ke berbagai tempat. Kehidupan ini
disebut kehidupan nomaden Pada perkembangan berikutnya manusia mulai menetap
dengan mata pencaharian utama yakni bertani.Dalam kehidupan mengembara dan
bertani, manusia memperoleh pengalaman bahwa bila dia memberi tanda pada sebuah
batu, pohon, papan, lempengan serta benda lainnya, ternyata manusia dapat
menyampaikan berita ke manusialainnya. Pesan ini dipahatkan pada batu atau
pohon atau benda lainny, manusia mulai berkomunikasi dengan kelompok lain
melalui bahasa tulisan.Bila kegiatan memberi tanda tersebut berlangsung dari
generasi ke generasi berikutnya maupun dari suku ke suku lainnya maka banyak
dugaan Perpustakaan dalam benuknya yang sangat sederhana sudah dikenal ketika
manusia mulai melakukan kegiatan penulisan ke berbagai benda. Benda itu dapat
diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya ataupun dapat dibaca suku lain.
·
SUMERIA DAN BABYLONIA
Perpustakaan sedah dikenal sejak
3000 tahun yang lalu. Penggalian di bekas kerajaan
Sumeria menunjukkan bahwa bangsa
Sumeria sekitar 3000 tahun sebelum Masehi telah
menyalin rekening, jadwal kegiatan, pengetahuan yang mereka peroleh
dalam bentuk lempeng tanah liat(clay tablets). Tulisan yang dpergunakan masih
berupa gambar (pictograph), kemudian ke aksara Sumeria. Kebudayaan Sumeria
termasuk kepercayaan, praktek keagamaan, dan tulisan Sumeria, kemudian diserap
oleh Babylonia yang menaklukkan Sumeria. Tulisan Sumeria kemudian diubah
menjadi tulisan paku (cuneiform) karena mirip paku. Semasa pemerintahan raja
Ashurbanipal dan Assyria (sekitar tahun 668-626 sebelum Masehi) didirikan
Perpustakaan kerajaan di ibukota Niniveh, berisi puluhan ribu lempeng tanah
liat yang dikumpulkan dari segala penjuru kerajaan.. Untuk mencatat koleksi
digunakan system subjek serta tanda pengenal pada tempat penyimpanan. Banyak
dugaan bawa Perpustakaan ini terbuka bagi kawula kerajaan.
Pada
masa yang hampir bersamaan, peradaban Mesir Kuno pun berkembang. Teks tertulis
paling awal yang ada di Perpustakaan Mesir berasal dari sekitar tahun 40000 SM,
namun
gaya tulisannya berbeda dengan
tulisan sumeria. Orang Mesir menggunakan tulisan yang disebut hieroglyph.
Tujuan heroglyph ialah memahatkan pesan terakhir di monumen karena tulisan dimaksudkan
untuk mengagungkan raja sedangkan tulisan yang ada di tembok dan monumen
dimaksudkan untuk memberi kesan kepada dunia. perpustakaan Mesir bertamabah maju
berkat penemuan penggunaan rumput papyrus sekitar tahun1200 SM. Untuk membuat
lembar papyrus maka isi batang papyrus dipotong menjadi lembaran tipis,
kemudian dibentangkan satu demi satu dan tumpuk demi tumpuk. Kedua lapisa
kemudia dilekatkan dengan lem, ditekan, diratakan, dan dipukul sehingga
permukaannya rata. Dengan demikian, permukaan lembaran papyrus dapat digunakan
sebagai bahan tulis, sedangkan alat tulisnya berupa pena sapu dan tinta.
Umumnya tulisan Hierolgyph hanya dipahami oleh pendeta karena itu papyrus
banyak ditemukan di kuil-kuil brisi pengumuman resmi, tulisan keagamaan,
filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.Pengembangan perpustakaan Mesir terjadi
semasa raja Khufu, Khafre, dan Ramses II sekitar tahun 1250 SM. Perpustakaan
raja Ramses II memiliki sekitar 20.000 buku.
·
YUNANI
Peradaban
Yunani mengenal tulisan Mycena sekitar tahun 1500 SM, kemudian tulisan
tersebut lenyap. Sebagai
penggantinya, orang Yunani menggunakan 22 aksara temuan orang
Phonicia, kemudian dikembangkan 26
aksara seperti yang kita kenal dewasa ini. Yunani mulai mengenal Perpustakaan
milik Peistratus (dari Athena) dan Polyerratus (dari Samos) sekitar abad ke-6
dan ke-7 SM. Perpustakaan berkembang pula semasa kejayaan Yunani dibawah
pimpinan Pericles sekitar abad ke-5 SM. Pada saat itu, membaca merupakan
pengisi waktu senggang serta merupakan awal dimulainya perdagangan buku.
Filosof Aristoteles dianggap sebagai orang pertama kali yang mengumpulkan,
menyimpan, dan memanfaatkan budaya masa lalu. Koleksi Aristotels kelak dibawa
ke Roma. Perkemabangan perpustakaan zaman kuno Yunani mencapai puncaknya semasa
Abad Hellenisme, yang ditandai dengan penyebaran ajaran dan kebudayaan Yunani.
Ini terjadi berkat penaklukan Alexander Agung beserta penggantinya, pembentukan
kota baru Yunani. Dan pemngembangan pemerintahan Monarchi. Perpustakaan utama
terletak di kota Alexandria, Mesir, dan kota pergamum, di Asia Kecil. Di Kota
Alexandria berdiarilah sebuah Museum, salah satu bagian utamnya ialah Perpustakaan dengan tujuan mengumpulkan teks Yunani dan manuskrip
segala bahasa dari semua penjuru. Berkat usahan Demetrius dari Phalerum,
perpustakaan Alexandria berkembang pesat sehingga memiliki 200.000 gulungan
papyrus hingga natinya mencapai 700.000 gulungan pada abad pertama SM. Perpustakaan
kedua disebut Serapeum, memiliki 42.800 gulungan terpilih, kelak berekembang
hingga 100.000 gulungan. Semua gulungan papyrus ini disunting, disusun, menurut
bentuknya, dan diberi catatan untuk disusun menjadi sebuah bibliografi sastra
Yunani berjumlah 120 jilid. Di Asia kecil kota Pergamum, seperti halnya
Alexandria berkembang menjadi pusat belajar serta kegiatan sastra.
Pada abad ke-2 SM, EumenesII mendirikan sebuah
Perpustakaan serta mulai mengumpulkan semua manuskrip, bahkan bila perlu
membuat salinan manuskrip lain. Untuk menyalin ini digunakan sejumlah besar
papyrus yang diimpor dari Mesir. Karena khawatir persediaan papyrus di Mesir
akan habis serta rasa iri akan pesaingnya maka raja Mesir menghentikan ekspor
papyrus ke Pergamum. Akibatnya, perpustakaan Pergamum harus mencari bahan tulis
lain kecuali papyrus. Maka dikembangkanlah bahan tulis baru yang disebut
perchamen artinya kulit binatang,terutama biri-biri atau anak lembu. Sebenarnya
bahan tulis ini sudah lama dikenal Yunani, namun karena harganya lebih mahal
dari papyrus maka papiruslah yang digunakan. Parchmen dikembangkan sehingga
akhirnya menggantikan papyrus sebagai bahan tulis hingga penemuan mesin cetak
pada abad menengah. Koleksi perpustakaan Pergamum mencapai 100.000 gulungan.
Dalam perkembangannya, koleksi perpustakaan Pergamum nantinya diserahkkan ke
Perpustakaan Alexandria sehingga Perpustakaan Alxandria menjadi Perpustakaan
terbesar pada zamannya.
·
ROMA
Yunani
mempengaruhi kehidupan budaya dan intelektual Roma. Ini terbukti bahwa banyak
orang Roma mempelajari sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan Yunani, bahkan
juga bertutur bahasa Yunani. Perpustakaan pribadi mulai tumbuh karena perwira
tinggi banyak yang
membawa rampasan perang termasuk
buku. Julius Caesar bahkan memerintahkan agar Perpustakaan terbuka untuk umum.
Perpustakaan kemudian tersebar ke seluruh bagian kerajaan Roma. Pada masa ini
diganti dengan codec, yang merupakan kumpulan parchmen, diikat serta dijilid
menjadi satu sperti buku yang kita kenal dewasa ini. Codex mulai digunakan
secara besar-
besaran abad ke-4. Perpustakaan
mulai mengalami kemunduran takala kerajaan Roma mulai mundur. Akhirnya, yang
tinggal hanyalah Perpustakaan biara, yang lain uumnya lenyap akibat serangan
orang-orang barbar.
SEJARAH
PERPUSTAKAAN DI INDONESIA
Sejarah
perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara
Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan
ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka
sejarah perpustakaan di Indonesia dapat
dimulai pada tahun 400-an yaitu saat
lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414 M menyatakan
bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya
kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang
mungkin disimpan di kediaman pendeta. Pada
sekitar tahun 695 M,, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang
biksu dengan tugas keagamaan dan
mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.
Di
pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di
kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya
tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama
Budha Mahayana. Menyusul kemudian sembilan parwasari cerita Mahabharata dan
satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu
Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal ialah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari uraian
tersebut nyata bahwa sudah ada naskah
yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman
Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu
adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab
Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam
Kresnayana. Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang
sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton. Periode berikutnya
adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab
Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan
Singosari.
Pada jaman dihasilkan dihasilkan buku Negara kertagama
yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan
Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Pada Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah
masih terus dilanjutkan oleh para raja
dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram,
Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui
dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Perpustakaan mulai didirikan
mula-mula untuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan
sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa
VOC (Vereenigde OostJurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 160 Indische
Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun
sejak 1624.
Pada
abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa
perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan
atau interlibrary loan). Lebih dari
seratus tahun kemudian berdiriperpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya
lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan
lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh
Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai
pengumpulan buku dan manuskrip untuk
koleksi perpustakaannya.
Perpustakaan
ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia yaitu Pada
tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanya pun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi
perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan
Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi
Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal
dengan Perpustakaan Museum Nasional.
Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan
Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan
Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia.
Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi
di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah
tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA Technische Hoogescholl
di Bandung (1920), Fakultait van
Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia
(1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi
atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.
Disamping
perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya
tercatat juga perpustakaan yang didirikan
oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton
sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya
adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh
dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan
yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting diantaranya
Bataviaasch Genootschap van Kunten
Weetenschappen. Selama pendudukan Jepang openbareleeszalen ditutup.
Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena
pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Jurnal
Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 162 Weetenschappen
maka koleksi perpustakaan
ini dapat dipertahankan, dan
merupakan cikalbakal dari Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan
mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya
perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan
Bung Hatta
dengan koleksi yang menitikberatkan
kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Indonesia. Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan
Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara
pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah
RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan
Sejarah Politik dan Sosial
Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di
seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas
membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta
huruf tersebut.
Pada
periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum
dan didirikan di Ibukota Propinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan
di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung
Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya,
Singaraja, Mataram, Medan,Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul
kemudian Perpustakaan Nagara di
Banjarmasin (1960); Manado (1961);
Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara
ini dikembangkan secara lintas
instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K
yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara
administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi yang memberikan
fasilitas.
Sejarah Perpustakaan Islam
A. Ilmu Pengetahuan
di Dunia Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti
abbasiyah terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far
al-Mansyur, Khalifah Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan
khalifah-khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan
kecintaannya khalifah-khalifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik
yang bernuansa agama maupun umum, baik karya ilmuan muslim maupun non muslim,
baik karya-karya ilmuan yang semasanya maupun pendahulunya. Hal ini terlihat
jelas dari sikap-sikap khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para
tentaranya untuk tidah merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang.
Begitu juga khalifah al-Makmun yang menggaji penerjemah-penerjemah dari
golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, sampai pada
akhirnya masih dilalukan pada masa khalifah al-Makmun Baghdad menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
B. Sejarah Berdirinya Perpustakaan Islam
Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)
Baitul Hikmah di Baghdad didirikan tahun 832 M pada masa Harun al-Rasyid menjadi
khalifah, kemudian diteruskan dan diperbesar oleh khalifah al-Makmun. Pada
perpustakaan ini bukan hanya berisi ilmu-ilmu dan buku-buku agama Islam dan
Bahasa Arab saja, bahkan juga bermacam-macam ilmu-ilmu dan buku-buku umum
lainnya dan juga dalam bahasa lainnya yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan
yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa
Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya. Baitul Hikmah, sudah dirintis
oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada
masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat
penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih
bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan.
Tujuan utama didirikannya Baitul Hikmah
adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke dalam
bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam, yaitu
menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada waktu itu pula
berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan
berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban
terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan
bantuan dari orang-orang yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Baitul Hikmah. Pada masa Makmun
inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa ini
Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India.
Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang
ahli di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah salah satu guru
besar di Baitul Hikmah. Orang-orang Persia lain juga diperkerjakan di Baitul
Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah adalah Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan
al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan
tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika.
Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul
Hikmah di baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang,
perpustakan, dan lembaga penerjemahan.
Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid
Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai
ketua ke dua.
C. Faktor-faktor Yang Menyebabkab Berdirinya
Lembaga Baitul Hikmah
Yang memotivasi berdirinya lembaga
Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan
oleh orang-orang kristen Nestorians; yakni gondhesaphur yang salah satu
tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit
pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya
yunani.
Dan juga yang menjadi motivasi lainnya dalam
pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
Melimpahnya
kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Makmun terhadap ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, seperti ilmu filsafat, kedokteran, astronomi, dan
lain-lain, dan juga kecintaannya terhadap seni musik. Bersatunya dana
dengan keinginan ini melahirkan sebuah pemikiran yang positif yaitu
mengembangkan pendidikan lebih maju lagi yang ternyata pemikiran ini mendapat
sambutan yang positif dari para pembantunya dan dari masyarakat.
Adanya
apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan
sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja
bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan
oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini
profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka, sehingga tidak
mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak
sekali peranannya dan saling bekerjasama. Mereka bisa menjalankan tugas dengan
tenang meskipun yang memerintahkan adalah khalifah orang muslim.
D. Aktifitas dan Peran-peran Perpustakaan
Baitul Hikmah
Motif utama berdirinya lembaga
Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan
pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani,
Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah
seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke
Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya
kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan
penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
1.
Suasana Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya.
2.
Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki.
3.
Dorongan ayat-ayat Al-Qur’an (ajran Islam) tentang menuntut ilmu
pengetahuan.
4.
Kemajuan ilmu pengetahuan
merupakan peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.
Dengan berdirinya Baitul Hikmah,
kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih maju. Khalifah berhasil
merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Kemudian
mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas mencari
karya-karya ilmuwan/filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan inilah pada
akhirnya umat islam bisa mengembangkan karya-karya kuno seperti
Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain.
Pesatnya
perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas
peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1.
Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang
antara lain ditunjukkan dengan berdirinya
perpustakaan di kota Baghdad.
2.
Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan
keilmuan, sehingga semua perangkat
risetnya juga dilengkapi dengan observatorium
astronomi.
3.
Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan pengembangan pelaksanaan
pendidikan.
E.
Gerakan Penerjemahan
Usaha
penerjemahan karya-karya ilmiah dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu
dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan
Yunani. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menterjemahkan
kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata, hal ini agar dapat memperoleh
keakuratan naskah, Hunain juga menggunakan metode penerjemahkan dengan
membandingkan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Hunain berhasil
menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab seperti buku kedokterann yang
dikarang oleh Paulus al-Agani. Dengan bantuan para penerjemah dari Baitul
Hikmah, Ia juga menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan kitab
Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. Penerjemahan buku-buku
ilmu kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara langsung dari bahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain kota baghadad, seperti Merv (Persia
Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat), Biasanya naskah berbahasa Yunani
diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam Bahsa Arab. Hal
ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah para pendeta Kristen Syiria
yang hanya memahami Bahasa Yunani.
Penerjemahan
berjalan terus bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi
usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu. Sebagian orang yang
cinta akan ilmu pengetahuan telah menafkahkan sebagian besar hartanya untuk
penerjemahan buku-buku baik itu dalam bahasa Yunani ataupun bahasa lainnya
kedalam bahasa Arab. Kegiatan kaum muslimin bukan hanya menerjemahkan,
bahkan mulai memberikan penjelasan-penjelasan pada naskah-naskah atau buku-buku
yang mereka terjemahkan.
F.
Hal-hal yang menyebabkan kemajuan intelektual
Kemajuan
intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut
:
Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India
terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi.
Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai
bidang ilmu, terutama filsafat.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak
diterjemhkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua
berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada masa
itu sejarah peradaban Islam tepatnya pada Bani Abbasiyah terutama pada masa khalifah al-Makmun telah
berkembang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan. Umat Islam sesungguhnya
telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta
kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan
hidup. Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah
mengantarkan dinasti ini mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti
ilmu kimia, kedokteran, filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi,
sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan,
penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalan sejarah
Bani Abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam dalam pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuwan.
G. Kejatuhan Kota Baghdad dan Kehancuran
Pepustakaan Baitul Hikmah
Faktor-faktor yang membuat Baghdad
menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikemukakan menjadi dua faktor yaitu :
1.
Faktor-faktor internal (dalam pemerintahan itu sendiri), yaitu :
a.
Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun
dalam Daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia dan Turki.
b. Adanya konflik aliran pemikiran
dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
c. Munculnya dinasti-dinasti kecil
yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
d.
Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
2.
Adapun faktor-faktor Eksternal (ancaman/serangan dari luar), yaitu :
a.
perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang.
b. Hadirnya tentara Mongol dibawah
pimpinan Hulagu Khan,
Kehadiran dan serangan tentara
Mongol inilah yang secara langsung menyebabkan kejatuhan Daulah Abbasiyah dan
kehancuran Baitul Hikmah di kota Baghdad, yaitu pada kekhalifahan al-Mu’tashim
yang menjadi penguasa terakhir bani Abbasiyah. Serangan tentara Mongol dibawah
pimpinan Hulagu Khan adalah peristiwa yang banyak menelan waktu dan
pengorbanan, pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa perpustakaan maupun
lembaga-lembaga pendidikan mereka diporak-porandakan dan dibakar. Dalam
serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari dimulai dari bulan Muharram sampai
pertengahan Safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa, khalifah
al-Mu’tashim bersama anak-anaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol. Semua
kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di tempat
lainnya, guru-guru, imam-imam, pembaca-pembaca semuanya disapu habis, sehingga
berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong. Khalifah
al-Mu’tashim adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah terbunuh oleh
kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta mengakhiri pemerintahan Abbasiyah.
Dari
berbagai permasalahan internal diiringi dengan serangan eksternal yang dihadapi
Daulah Abbasiyah hingga kehancuran perpustakaan Baitul Hikmah, ini
mengakibatkan dampak yang sangat negatif
pada kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Komentar
Posting Komentar