BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hal yang dipertaruhkan dalam tulisan ini
adalah pernyataan penulis bahwa konsep teoritis demokrasi bukanlah teori
politik yang langsung dapat dikatakan etis. Pengertian teoritis dihepotesikan
sebagai teori politik dalam pemahaman konvensional, memiliki kelemahan atau
kerapuhan yang inheren di dalam tatanan prinsip-prinsipnya, khususnya hal yang
berkenaan metodologi dari demokrasi itu sendiri.
Jika di tuangkan dalam bentuk hipotesis, apa
yang dijadikan soal dalam pembahasan ini adalah jika demokrasi secara teoritis
memiliki kelemahan etis yang jelas dalam prinsip-prinsip esensial yang
membentuknya, maka demokrasi tidak dapat dinyatakan sebagai teori politik yang
etis sesungguhnya, atau dengan kata lain tidak memadai dalam perspektif
filsafat. Namun demikian, agar tulisan ini tidak hanya terhenti pada kritik
tanpa upaya untuk masuk ke dalam pemahaman lebih komprehensif kita dapat
menyatakan hipotesis selanjutnya, yaitu jika teori politik demokrasi dapat
memenuhi syarat-syarat filosofis (prinsip-prinsip etika), maka akan dapat di
wujudkan teori politik demokrasi yang etis.
Artinya, ada pengaruh dari prinsip-prinsip etika fundamental sebagai
prasyarat terhadap suatu teori demokrasi untuk sampai dapat dikatakan sebagai teori
politik yang etis sesungguhnya.
Penelitian
yang berkenaan dengan etika politik ini memiliki urgensi dan kegunaan yang
tinggi mengingat permaslahan sosial politik yang semakin luas dibicarakan.
Pembicaraan soal etika politik yang dikaitkan dengan teori demokrasi merupakan
bidang kajian yang signifikan untuk disumbangkan dalam kerangka penafsiran
legitimasi dan persepsi demokratis yang di inginkan dalam kehidupan politik
yang sehat. Untuk itulah penelitian ini memiliki arti tersendiri dalam
mengantisipasi teori dan konsep dinamik dari demokrasi yang selama ini menjadi landasan
dari etika politik modern.
Hasil
dari etika sebagai kajian refleksi filosofis ini akan menjernihkan adanya klaim
demokrasi sebagai teori politik yang etis. Secara logis dapat dikatakan bahwa
kajian refleksi ini melakukan proses penjernihan etika terhadap ajaran demokrasi
yang dipahami sebatas itu, demokrasi bisa kehilangan kedalaman landasan
etisnya, dan dapat jatuh pada praktik diktator mayoritas, rekayasa anarki, atau
pembelokan (manipulasi) kehendak rakyat, yang bersifat tidak peduli terhadap
apa yang baik, apa yang adil serta apa yang secara fundamental etis, sehingga
akhirnya dapatlah dipahami bahwa disini studi etika dijadikan pisau analisis dan
teropong filosofis terhadap konsep demokrasi. Proses ini untuk mendapatkan
pemahaman hakiki yang lebih jernih dan etis dari ajaran demokrasi melalui
metode kritis yang runtut.
Informasi
yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa ide demokrasi telah mengalami
penafsiran yang banyak sekali dalam bentuknya kemudian. Dalam literatur pernah
pernah terungkap ada lebih dari 300 varian demokrasi sehingga demokrasi yang
murni sering diposisikan dalam praanggapan bahwa konsep ini perlu pemahaman
atas transformasi dari demokrasi Yunani
kuno, demokrasi yang konvensional menuju demokrasi modern yang rasional dan
etis.
Dalam proses analisis kritis terhadap
demokrasi teoritis sebagai ajaran moral mengenai tatanan politik, maka
penggunaan filsafat menjadi sangat penting untuk memahami hakikat eksistensial
dari demokrasi. Setelah menemukan pengertian filosofis dari demokrasi barulah
di telaah titik lemahnya dari perspektif etika. Jika secara teoritis demokrasi
tidak memadai dari sisi etika, maka ia tidak berhak untuk diklaim sebagai teori
politik yang etis atau sebagai landasan bagi etika politik modern. Upaya
transformasi menuju kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip etika dasar menjadi
jalan keluar agar demokrasi tidak cepat usang menghadapi kritik filsafat pada
masa ini.
1.2 Resume
Book Report
1.2.1
Legitimasi Kekuasaan Pemerintah
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate
authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh Pemerintah
Negara) dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Perlu
ditegaskan disini bahwa pertanggungjawaban publik merupakan manifestasi dari
tanggung jawab rasional atas kekuasaan. Secara singkat dan tanpa pendasaran
lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah utama dari etika politik disamping
juga sebagai medan bahasan dari filsafat politik adalah masalah legitimasi,
legitimasi dalam arti etis. Dalam bahsan legitiasi inilah etika politik dapat
bertemu dengan filsafat politik.
Legistimasi etis (filosofis) adalah penyempurnaan akhir dari kemauan dan
kemampuan berkuasa. Walaupun seorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak
legitimasi sebagai background
kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitismasi etisnya.
Tanpa legistimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan,
suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggun waktu untuk dijatuhkan. Apakah itu
lewat cara pemberontakan sosial atau demonstrasi , revolusi atau reformasi,
maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, yang jelas akan ada gerakan
reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi peyang rtanggungjawaban
politiknya yang konkret dan etis.
Suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga
yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk
melakukan pengelolaan (manajemen) negara
secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan
kapasitas untuk mengimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat,
rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat
adaah ukuran utama dalam menilai kemampuan legistimasi kapabilitas pemerintahan.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak
selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang legitim
(sah) tidak selalu cakap dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita
sadari sebagai hal yang tersendiri.
Demokrasi diklaim sebagai salah satu prinsip dari etika politik modern yang
utama, disamping konsep tentang hak-hak asasi manusia, konsep distributive
justice, good governance, civil society, dan lain-lain. Jadi, perlu kita
pahami bahwa sering kali ada klaim yang tertolak bahwa suatu praktik politik yang
etis dan modern harus di dasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya suatu
praktik politik yang etis mestilah demokratis.
Perspektif etis-filosofis selalu memberikan nuansa kritik terhadap konsep
dan praktik-praktik politik. Ia memberikan kesadaran bahwa prinsip-prinsip
etika politik tidak bersifat mutlak melainkan selalu dapat dan harus
dipertanyakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip moral dasar yang sendiri
kebal terhadap penyalahgunaan ideologis karena tidak dapat dipakai untuk
membenarkan kebijakan-kebijakan konkret. Legistimasi etis menunjukkan
eksistensinya yang berdiri sendiri dari legistimasi-legistimasi lainnya.
Dalam tulisannya, the Prince, Machiaveli dengan tegas menolak mendasarkan
politik atas hak dan hukum. Dia menyatakan tidak ada hukum kecuali kekuatan
yang memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan
itu. Hukum adalah norma yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada
kelupaan atas asal usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam
politik, kekuatan menentukan, sedangkan moralitas (etika) tidak berdaya.
1.2.2
Sejarah Teori Kedaulatan
Orang yang
pertama kali membahas masalah kedaulatan adalah Jean Bodin, sehingga kemudian
ia disebut sebagai bapak teori kedaulatan dalam khazanah kajian ilmu Negara.
Jean Bodin mengartikan kedaulatn sebagai wewenang tertinggi yang tidak dapat
dibatasi oleh hokum.Wewenang ini ada pada penguasa (pemerintah negara) mengatasi
segala warga Negara dan orang-orang lain di dalam ruang lingkup wilayahnya.
Dalam hal ini sebenarnya Bodin ingin mengatakan bahwa kekuasaaan raja
(kedaulatan penguasa) berada di atas hokum atau undang-undang. Penguasa atau
orang yang mengatasnamakan Negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk memutuskan
apa saja.
Ajaran
kedaulatan yang dikemukakan oleh Bodin ini kemudian berkembang seiring dengan
perkembangan sejarah politik yang bergeser dari kuatnya kekuasaan system
monarki (kerajaan) menuju system demokrasi (kedaulatan rakyat) yang masih
disanjung tinggi hingga penghujung millennium ketiga saat ini. Istilah
kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dan Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam perkembangan historis
kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana untuk menunjuk pada
suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang dahulu sangat absolute
telah runtuh legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang
digunakan dalam istilah “demokrasi” (demos
= rakyat= people; kratos = kratein =
pemerintahan/kekuasaan = rule).
Dalam
perkembangannya kemudian para ahli beranggapan bahwa untuk menentukan kekuasaan
tertinggi dalam negaranya, tidak dapat dilepaskan dari alas an teoritis atau
anggapan yang menjadi dasar dari adanya suatu Negara. Dengan perkataan lain,
teori-teori kedaulatan akan senantiasa bertalian dengan teori-teori mengenai
pembenaran (legistimasi) Negara (rechtsvaavrdigingstheorien)yang
dipandang dari segi sosiologis (secara menyeluruh = Ganzheit).
Dari segi
perkembangan logis historis, teori kedaulatan dapat diklasifikasikan ke dalam
enam teori dengan pendekatan menyeluruh, yaitu sebagai berikut :
a)
Teori
Kedaulatan Tuhan
b)
Teori
Kedaulatan Raja
c)
Teori
Kedaulatan Rakyat
d)
Teori
Kedaulatan Negara
e)
Teori
Kedaulatan Hukum
f)
Teori
Kedaulatan Pluralis
1.2.3
Sejarah Demokrasi
Pada awalnya
sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung
yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa daam suatu proses politik. Proses
politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang
dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘Politea’ atau yang
secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘Polyarchy’ sebagai ganti
dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas.
Jadi, cirri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh
seluruh warga polis (Negara kot/ city
state) yang jumlah penduduknya relative kecil.
Sejarah
demokrasi juga tidak dapat dilepaskan dari maslah pembahasan mengenai bentuk
pemerintahan Negara ( form of government
). Peninjauan masalah bentu Negara merupakan pembahsan mengenai dalam bentuk
apa organisasi Negara itu menjelma dalam masyarakat. Berdasarkan teori
kenegaraan pembahsannya merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan
yuridis.
Dalam teori
ilmu Negara, kita mengenal beberapa segi peninjauan yang membahas masalah
bentuk Negara. Pembahasan bentuk Negara, diantaranya yaitu :
1.
Bentuk
Negara Tradisional ( Pandangan Aristoteles dan Polybios )
2.
Bentuk
Negara menurut Machiavelli
3.
Bentuk
Negara Berdasarkan Isi ( Struktur )
Dalam perkembangannya ternyata pengertin demokrasi mencakup kedua
unsurnya, yaitu unsur kebebasan dan
persamaan. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat E.H. Carr yang mengemukakan
kekurangan dari Demokrasi Barat yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.Beberapa
Negara kemudian melengkapi Demokrasi Barat dengan unsure demokrasi yang
mengutamakan persamaan. Menurut E.H. Carr, Demokrasi Barat mempunyai tiga
kekurangan, yaitu sebagai berikut :
·
Terlampau
formil karena cenderung tidak melihat keyataan bahwa dalam masyarakat masih ada
lapisan-lapisan yang berbeda terutama dari segi kemampuan ekonomi
·
Terlampau
politis karena cenderung tidak memperhatikan segi ekonomi, social, dan budaya
dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, sehingga mengesampingkan juga masalah
demokrasi ekonomi, demokrasi social dan demokrasi budaya/cultural
·
Demokrasi
Barat/liberal kurang memiliki suatu pedoman yang tegas karena tidak adanya
kebenaran yang mutlak yang dapat dicapai.
Sejarah kenegaraan menunjukkan bahwa salah
satu penyebab kekacauan di dunia adalah tidak adanya persamaan penafsiran
antarpara sarjana mengenai arti dan maksud demokrasi. Oleh karena itu, UNESCO
membentuk suatu panitia dan mengadakan simposium yang membahas pendapat para
sarjana di seluruh dunia mengenai arti dari demokrasi. Salah satu dari para
sarjana tersebut adalah Logemann yang menyatakan bahwa sebenarnya setiap bentuk
pemerintahan yang selalu mengembalikan pada kekuasaan rakyat adalah demokrasi.
Hal ini dapat kita lihat dari ucapan terkenal Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, yaitu “Democracy of the
people,by the people and for the people.” Akan tetapi, dalam melaksanakan
atau menggunakan kekuasaan rakyat tersebut justru menimbulkan
perbedaan-perbedaan. Logemann membuat suatu klasifikasi mengenai macam-macam
demokrasi, yaitu :
1. Demokrasi Barat, yaitu demokrasi yang mengutamakan kebebasan seperti yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen.
2.
Demokrasi Timur, yaitu demokrasi yang
mengutamakan persamaan seperti yang dikemukakan oleh Snetleage.
3.
Demokrasi Sederhana, yaitu demokrasi desa
dalam masyarakat yang masih sederhana dimana keputusan rakyat tidak menggunakan
cara-cara yang dikenal dalam teori demokrasi tetapi menggunakan cara-cara
khusus, misalnya msyawarah.
4.
Diktator, terdiri dari Nezisme dan Fascisme.
Pemimpin negara dalam hal ini dianggap sebagai eksponen rakyat atau
pencermianan dari kepentingan rakyat. Ia merupakan orang yang terkemuka di antara rakyat, terkemuka di antara yang
sama (primus inter pares).
1.2.4
Teori Politik Tentang Demokrasi
1.
Teori
Politik
Teori politik
adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan
perkataan lain teori politik adalah bahasan dan renungan atas : (a) tujuan dari kegiatan politik, (b)
cara-cara mencapai tujuan itu, (c)
kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi
politik yang tertentu, (d) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan
politik itu.
Menurut Thomas
P. Jenkin dalam The Study Of Political
Theory, dibedakan dua macam teori politik, sekalipun perbedaan antara kedua
kelompok tidak bersifat mutlak
·
Teori-teori
yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norms for political behavior). Karena
adanya unsur norma-norma dan nilai maka teori-teori ini boleh dinamakan valutional (mengandung nilai). Yang
termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis,
ideology dan sebagainya.
·
Teori-teori
yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak
mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori ini dapat dinamakan nonvalutionalatau value free. Ia biasanya bersifat deskriptif dan komperatif.
1. Teori Demokrasi
Tiga model teori demokrasi dalam klasifikasi Gould, yaitu :
(1) model indivudualisme liberl
(2) model pluralisme
(3) model sosialisme holistik.
Teori demokrasi model individualisme liberal terwakili oleh
pemikiran tradisional seperti teori Locke, Jefferson, Bentham, James Mill, dan
analisis masa kini seperti oleh Been dan Peters, J.R..Pennock, dan C.
Cohen.Model ini menjelaskan demokrasi sebagai pelindung orang dari
kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, dan mendudukkan pemerintah sebagai
pelindung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan. Model demokrasi
ini menginginkan kesamaan universal bagi seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh
rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai dengan “satu orang satu
suara”.
Teori demokrasi dari kaum pluralis merupakan model teoretis yang
munccul dalam tulisan para teoritisi seperti Madison, Dewey, Schumpeter, Dahl,
dan Berelson.Teori ini merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang
menekankan kepentingan pribadi individu-individu yang lepas. Dalam hal ini
pluralismememusatkan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai agregasi dari
kepentingan individual, dan pemunculannya akan mengakibatkan konflik dalam
proses politik. Sehingga, demokrasi politik ditafsirkan sebagai system
pemerintahan yang menangani konflik itu untuk memperoleh keseimbangan social.
Menurut teori ini demokrasi politik memaksimumkan terwakilinya individu-individu
yang kepentingannya mungkin tidaka akan diwakili scara memadai oleh kekuasaan
kelompok tempat ia bergabung. Teori ini juga menyatakan bahwa pluralisme
melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan
alternative-alternatif politik yang mampu mewakili pluralitass kelompok
kepentingan ataupun partai.Struktur poltik yang diciptakannya adalah menutup
kemungkinan hegemoni dari suatu kelompok atau partai tunggal.
Anggapan ontologis pandangan sosialisme holistik itu adalah bahwa
entitas dasar kehidupan social adalah keseluruhan atau otoritas social.Oleh
karena itu, individu-individu ada sebagai bagian dari keseluruhan dan dalam
pera maupun fungsinya yang harus dimainkan di dalam keseluhan itu.Secara
totalitas di pandang, keseluruhan identik dengan segenap hubungan yang ada di
dalamnya.Semua ini merupakan hubungan internal, dalam arti bahwa masing-masing
memiliki smua dan di miliki semua. Maka, indivudu-individu dalam keseluruhan
tersebut tidak merupakan apapun kecuali apa yang terdapat di dalam hubungan-hubungannya,
dan dlam arti ini adalah bagian atau fungsi dari totalitas.
Hal yang menarik dari pandanga sosialisme holistik ini adalah bahwa
kebebasan tanpak sebagai kebebasan dari keseluruhan untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya melalui kegiatan-kegiatan individu.Kebebasan individu,
dengan demikian, diwujudkan sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka membantu
teraktualisasikannya potensi totalitas.Jadi, tujuan akhirnya adalah kemakmuran
ekonomis totalitas masyarakat, karena tercukupinya ekonomi dipandang sebagai
suatu kondisi sebagai kebebasan.
1.2.5
Metodelogi Demokrasi
Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme
untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis
masyarakat dan bukan juga seperangkat tujuan moral (melainkan) suatu mekanisme
yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih kelompok para politisi
yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi suara
yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya.
Kata-kata Schumpeter di kutip langsung oleh S.P. Varma sebagai berikut :
“Metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada
keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan
untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat” dan
“Keinginan rakyat adalah hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dari proses
politik itu” serta tidak terdapat dugaan bahwa (1) ada kebutuhan bagi ukuran
moral dalam keputuan-keputusan tersebut (2) keputusan-keputusan tersebut
berhubungan dengan keinginan yang dikehendaki rakyat (3) da satu tututan
pertanggungjawaban rakyat dalam seluruh proses tersebut.
1.2.6
Prinsip-Prinsip Demokrasi
Konsep kedaulatan rakyat adalah sebuah
cara untuk memecahkan masalah yang rumit: “rakyat berkuasa tetapi sekaligus
diperintah”. Tidak dapat dibantah bahwa pemerintah/negara adalah pihak yang
berkuasa dalam pengaturan masyarakat. Demi kepentingan bersama, rakyat
diharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat pemerintah yang bertindak
atas nama rakyat.
Dalam konteks inilah konsep teoritis
demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum dalam menjalankan pemerintahan yang
baik, yaitu pemerintahan yang senantiasa dalam kontrol dan partisipasi rakyat
yang penuh. Dibawah ini akan diuraikan dua subbab yang mengolaborasi nilai atau
prinsip-prinsip yang terkandung dalam cita-demokrasi.
1. Prinsip-prinsip umum demokrasi
Banyak
sekali teori demokrasi yang sudah dirumuskan oleh para penulis, sehingga Robert
A. Dahl menulis bahwa “… there is no democratic theory there are only
democratic theories.” Boleh dikatakan bahwa setiap penulis yang membahas
demokrasi memberikan pandangannya tentang pengertian dan ciri-ciri demokrasi.
Dibawah inin akan diuraikan beberapa pendapat yang mengutarakan prinsip-prinsip
umum yang diturunkan dari teori demokrasi yang dicanangkan oleh beberapa pakar.
William
Ebenstein menyebutkan adanya 8 ciri utama dari konsep demokrasi Baarat, yakni :
(1)
empirisme rasional
(2)
penekanan pada individu
(3) negara
sebagai alat
(4)
kesukarelaan
(5) hukum
diatas hukum
(6)
penekanan pada cara
(7)
persetujuan sebagai dasar dalam hubungan antar manusia
(8)
persamaan semua manusia.
Bernhard
Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap
hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan
pers, berserikat dan berkualisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan
partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang bebas, sama, rahasia, atas dasar
minimal 2 alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.
Dari ragam
pendapat mengenai nilai-nilai yang terangkum dari teori demokrasi masing-masing
bakat tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal :
(1) adanya nilai-nilai yang bersifat
substansial
(2) adanya nilai-nilai yang bersifat
instrumental yang menjadi mekanisme penentu agar persetujuan menjadi abash.
Tanpa adanya nilai atau prinsip tersebut, demokrasi tidak mungkin ada, inilah
yang penulis sebut sebagai nilai atau prinsip eksistensial dari demokrasi itu.
2.
Prinsip-prinsip eksistensial
Dari seluruh prinsip umum yang tergambar
dalam ragam pandangan mengenai teori demokrasi, secara esensial dapat
dikembalikan kepada tiga nilai utama yang menjadi prinsip eksistensial yang
mendasari tumbuhnya teori demokrasi, yaitu :
(1) kebebasan
(2) kesamaan
(3) kedaulatan suara mayoritas.
Dalam pandangan penulis, ketiga nilai
inilah yang menyebabkan demokrasi didukung dan di sanjung sebagai konsep.
1.2.7
Pengertian Demokrasi
1. Pengertian umum
Demokrasi
adalah spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip
kebebasan dan kesamaan dangan segala derivatifnya menuju persetujuan politik
melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis.Lebih
lanjut dapat dipahami bahwa demokrasi ingin mengawinkan antara fenomena
politik, hukum, dan moral itu dalam suatu kontruksi teoritis yang
modern.Pengertian umum itu menurut penulis telah mencakup unsur-unsur umum yang
konvergen sebagaimana telah dikemukakan oleh banyak penulis.
2. Konsep Kekuasaan dan Moralitas
Konsep
kekuasaan menurut pemahaman Foucault ini amat menarik, kekuasaan dapat eksis
dan beraksi dimana saja dan kapan saja seperti iklan Coco Cola.Dengan
demikian, kekuasaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memuat moralitas
dan dapat pula tidak memuat moralitas.Kekuasaan dapat dipilah dan dipisahkan
dari moralitas.
3. Penegertian Filosofis
Secara
filosofis kita dapat menjawabnya melalui dua pendekatan yaitu dari segi
keseluruhannya yang lebih besar, yang didalamnya hal tersebut menjadi anggotanya,
dan dari segi bagian-bagiannya yang menyusun barang sesuatu tersebut.
1.2.8
Demokrasi dalam Perspektif Etika
1
Vulnerabilitas Teori Politik Demokrasi
Adanya
anggapan umum bahwa demokrasi sudah memiliki substansi etis bukanlah anggapan
yang salah.Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri
untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah subtansi etis
yang tidak dapat dipungkiri.Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk
“berkuasa atas dirimya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa
melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Disinlah letak substansi etis
dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian substansi atau
pengertian etis disini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional
kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk
menentukan kebenaran dalam setiap mekanisme pengambilan keputsan.Apa yang
dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai
kebenaran yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan
seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Dari
seluruh paparan mengenai operasionalisasi dari prinsip-prinsip utama demokrasi
dan substansi etisnya yang dilekatkan pada persetujuan rakyat mayoritas, dapat
dicatat beberapa kelemahan teoritis (vulnerabilitas) dari acuan teoritis
demokrasi tersebut.
Beberapa
hal penting yang dapat diungkapkan sebagai hasil analisis, adalah sebagai
berikut.
a) Pelaksanaan prinsip kebebasan melalui
pengapsahan dari suara mayoritas dapat mematikan prinsip-prinsip baik lainnya
yang berpotensi mengembangkan kehidupan yang sehat bagi masyarakat (kolektif)
b) Metodologi demokrasi telah menempatkan
metode kuantitatif (suara mayoritas) dalam menemukan putusan yang dipersepsi oleh
rakyat sebagai kebeneran dan keadilan, artinya mengabaikan secara umum metode
kualitatif. Apa yang diputuskan oleh suara mayoritas melalui parlemen dapat
diakui abash (konstitusional) walaupun putusan tersebut dapat bertentangan
dengan nilai-nilai etika fundamental
c) Secara paradoksal, dapat dicermati bahwa
ada pertegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesamaan. Prinsip
lesetaraan itu berpotensi merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Viceversa,
prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesamaan
(kesederajatan). Pelaksanaan prinsip pelaksanaan politik dapat mereduksi bahkan
mematikan potensi individu-individu yang berkualitas untu menjadi penentu yang
diapresiasi sebagai factor pemaju peradaban
d) Produk atau outputdari proses
aturan main demokrasi dianggap tidak dapat diganggu gugat sebagai kebijakan
public.
e) Kontradiksi factual dari prinsip kesamaan
dan prinsip kebebasaan. Kekuatiran bahwa kesetaraan atau kesamaan akan dapat
merusak atau merongrong kebebasan warga bukan lah hal yang tidak nyata.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi tidak seutuhnya
identik dengan moralitas, dalam hal ini etika, walaupun secara kategoris
demokrasi memiliki substansi etik dan menjadi bagian dari lingkup etika
politik.Artinya pula, sesuatu yang dianggap demokratis itu tidak langsung dapat
dikatakan sebagai keputusan yang baik atau etis. Etika politik demokrasi disini
berupaya mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran
dan keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat
mayoritas.Kehendak rakyat yang dikontruksi lewat suara mayoritas yang bebas dan
memiliki kesamaan hak politik itu dapat menjadi legitimasi bagi kekuasaan
politik dan tindakan politik (legitimasi sosio-politik).
2. Keadilan, Kemakmuran, Dan Demokasi
Kalau
ditelaah dari kacamata hukum demokrasi ingin mewujudkan social justice yang
diabsahkan menjadi legal justice, sehingga negara dan aparatur nya dapat
melaksanakan utusan justice itu dalam tindakan nyata.Social justice
itu dapat diperoleh melalui dua jalan pertama, melalui lembaga politik
semisal DPR.Kedua, melalui lembaga pro-yustisia (judicial)
semisal pengadilan atau bisa juga lewat lembaga abitrase. Dalam uraian dibawah
ini penulis akan menjabarkan pemikiran bahwa keadilan lebih menjadi prioritas
ketimbang mewujudkan kemakmuran. Tuntutan keadilan itu dapat muncul secara
evolusi, reformasi maupun secara revolusi.Jadi, dapat ditegaskan bahwa
keakmuran tanpa (didahului) keadilan tidak aka ada artinya secara moral bagi
kehidupan manusia yang beradab. Penulis beranggapan bahwa keadilan akan dapat
membawa kepada kemakmuran.
Mungkin
dapatlah dipahami secara singkat bahwa naluri untuk hidup makmur dapat berjalan
sendiri. Tetapi naluri untuk berbuat adil terhadap orang lain dan lingkungan
sering kali terhambat oleh kepentingan-kepentingan subjektif. Keadilan harus
senantiasa komunikatif dan interaktif antar komponen kehidupan.Keadilan tidak
bisa adil untuk diri sendiri dengan pola keadilan yang didudukkan lebih dahulu
tentulah kemakmuran yang tersebar juga adalah kemakmuran interaktif yang
artinya adalah pemerataan.Disinilah letak keterkaitan signifikan antara
keadilan dan kemakmuran.
3. Konvergensi Transformatif Pengeretian
Demokrasi Kedalam Etika Dasar
Secara
logis suatu teori politik demokrasi dan bentuk pemerintahan demokrasi harus
bersandar pada nilai-nilai eksistensial konsep demokrasi. Nilai-nilai ini dapat
di derivasikan dan dirumuskan kedalam suatu perangkat etika tersendiri, yaitu
etika atau ajaran moral demokrasi.Dalam hal ini etika demokrasi dengan materi
filsafat nya harus dapat menjawab tantangan perkembang era modern, era
subernetik melenium.
Sesuatu
demokrasi yang memahami etika dan berkesadaran etis akan mnumbuhkan suasana
tertib politik dalam mekanisme check and balanceyang utuh dan accountable.
Pilihan untuk menyelenggarakan sistem demokrasi yang memperhatikan secara
serius prinsip-prinsip etika dasar adalah demokrasi yang menjalankan dengan
sopan santun politik.
Perlu
dipahami bahwa konsep demokrasi itu bukanlah konsepsi yang telah final dan
absoulut walaupun ada prinsip-prinsip dasarnya yang sangat sulit untuk berubah
sebagai dasar keberadaannya.Dalam pemahan komprelhensip dan historis, konsep
ini bersifat dinamis dan kontekstual oleh sebab itu sistem yang mengikuti pola
dan konsep itu dapat pula berkembang sesuai dengan terungkapnya potensi-potensi
kemanusiaan dan temuan-temuan manusia sepanjang sejarah.
4. Budaya Politik Demokrasi
Relevansi
etika politik dengan pengertian budaya politik dapat dilihat sebagai berikut.Asumsi
dasar yang digunakan dalam mengkaji budaya politik adalah bahwa terdapat
hubungan yang deterministis antara nilai yang dianut dengan tingkah laku
seseorang atau masyarakat.Nilai-norma merupkan patokan atau pedoman ketika
seseorag bertingkah laku. Nilai-nilai itu memberikan batasan antara yang baik
dan buruk, apa yang benar dan salah atau apa yang boleh atau tidak boleh untuk
dilakukan. Sebaliknya, tingkah lku merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang
dianut.
Budaya
politik yang menyangkut nilai dan persepsi ini menjadi begrounddari
prilaku etis seseorang dalam berpolitik.Tingkah laku politik yang demokratis
adalah buah dari budaya politik demokratis yang ditanamankan dalam masyarakat.
Jika nilai yang ditanamkan dan informasi yang disosialisasikan berlawanan
dengan prinsip demokrasi, sulit diharapkan akan lahir prilaku politik yang
demokratis sebaliknya, jika diseminasi nilai demokrasi efektif dilakukan, akan
muncullah budaya demokratis yang diharapkan.
BAB II
BAHASAN PERBANDINGAN
2.1
Legitimasi Kekuasaan
Pemerintah
2.1.1
Jurnal Demokrasi Dan Sisitem Pemerintahan
Demokrasi
memberikan pemahaman bahwa sebuah kekuasaan dari rakyat. Dengan pemahaman
seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang menguntungkan dan
melindungi hak-haknya. Dalam konteks Indonesia konstitusi yang menjadi pegangan
adalah UUD 1945, jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua kali,
pertama pada pembukaan alenia keempat, kedua pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945
hasil perubahan berbunyi, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD”. Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas mendasar pada pemerintahan
demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat.
Sistem
Pemerintahan
Sistem
pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara
atau tiga poros kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Sementara
Sri Soemantri menyebutkan sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan quasi.Sistem
ini diartikan sebagai sistem pemerintahan yang mengandung unsur-unsur yang
terdapat sistem presidensil maupun yang terdapat dalam sistem pemerintahan
parlementer.
2.1.2
Book
Report
Legistimasi etis (filosofis) adalah penyempurnaan akhir dari kemauan dan
kemampuan berkuasa. Walaupun seorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak
legitimasi sebagai background
kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitismasi etisnya.
Tanpa legistimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan,
suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggun waktu untuk dijatuhkan. Apakah itu
lewat cara pemberontakan sosial atau demonstrasi , revolusi atau reformasi,
maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, yang jelas akan ada gerakan
reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi peyang rtanggungjawaban
politiknya yang konkret dan etis.
Suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga
yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk
melakukan pengelolaan (manajemen) negara
secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan
kapasitas untuk mengimplementasikan program yanglangsung menyentuh rakyat,
rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat
adaah ukuran utama dalam menilai kemampuan legistimasi kapabilitas
pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang
legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa
pemerintahan yang legitim (sah) tidak selalu cakap dalam mengelola negara
adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.
2.1.3 Perbandingan
Dapat
terlihat dari jurnal demokrasi dan sistem pemerintahan, bahwa sistem
pemerintahan demokrasi dipegang oleh rakyat. Rakyat akan melahirkan sebuah
peraturan dan melindungi hak-haknya. Itu tertera pada pembukaan UUD 1945 pada
alenia keempat dan pada pasal 1 ayat (2). Sistem pemerintahan adalah sistem
hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara atau tiga poros kekuasaan
yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sedangkan
dalam book report, suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis
bila seseorang atau lembaga yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki
kecakapan yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen) negara secara keseluruhan. Dalam hal ini
legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan
program yanglangsung menyentuh rakyat, rakyat sebagai pemegang legitimasi
tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adaah ukuran utama dalam menilai
kemampuan legistimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah
disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus
dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang legitim (sah) tidak selalu cakap
dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang
tersendiri.
2.2 Sejarah Teori
Kedaulaatan
2.2.1
Jurnal Kedaulatan Negara
Ajaran filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah
bahwa, kedaulatan merupakan kekuasaan absolut atas susatu wilayah tertentu.
Kekuasaan absolut atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi pembentukan
negara Pemahaman tentang konsep
kedaulatan negara ini sangat membantu dalam mencermati dan mengevaluasi
kedudukan Negara dalam konteks hubungan internasional yang
sangat dinamis. Dalam wacana akademik, tampaknya tidak dapat ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Terminologi kedaulatan memiliki beragam makna dan penafsiran. Istilah kedaulatan seringkali diberi makna berbedabeda oleh akademisi, jurnalis, politisi, pejabat internasional, juris dan kalangan lain dengan latar belakang profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga berbeda-beda. Istilah ini dapat memiliki makna berbeda bagi orang yang berbeda, yang masing-masing memiliki latar belakang beragam pula. Istilah kedaulatan mungkin memiliki makna berbeda dalam ilmu hukum, ilmu politik, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengannya. Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat merujuk pada kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi, kedaulatan hukum internasional, dan kedaulatan negara yang absolut. Kedaulatan sebagai konsep yang menunjuk pada kekuasaan utama dan tertinggi untuk memutuskan dapat dianalisis dan dikualifikasikan berdasarkan perspektif/sudut pandang unsur-unsur yang berhadapan (diametral), yaitu kedaulatan hukum atau kedaulatan politik, kedaulatan internal atau eksternal, kedaulatan yang tunggal atau kedaulatan yang dapat dibagi : kedaulatan pemerintah atau rakyat.
sangat dinamis. Dalam wacana akademik, tampaknya tidak dapat ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Terminologi kedaulatan memiliki beragam makna dan penafsiran. Istilah kedaulatan seringkali diberi makna berbedabeda oleh akademisi, jurnalis, politisi, pejabat internasional, juris dan kalangan lain dengan latar belakang profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga berbeda-beda. Istilah ini dapat memiliki makna berbeda bagi orang yang berbeda, yang masing-masing memiliki latar belakang beragam pula. Istilah kedaulatan mungkin memiliki makna berbeda dalam ilmu hukum, ilmu politik, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengannya. Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat merujuk pada kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi, kedaulatan hukum internasional, dan kedaulatan negara yang absolut. Kedaulatan sebagai konsep yang menunjuk pada kekuasaan utama dan tertinggi untuk memutuskan dapat dianalisis dan dikualifikasikan berdasarkan perspektif/sudut pandang unsur-unsur yang berhadapan (diametral), yaitu kedaulatan hukum atau kedaulatan politik, kedaulatan internal atau eksternal, kedaulatan yang tunggal atau kedaulatan yang dapat dibagi : kedaulatan pemerintah atau rakyat.
James J Sheehan mengemukakan pandangan yang sangat kritis, bahwa
salah satu permasalahan terkait konsep kedaulatan (sovereignty) adalah tentang definisi. Kedaulatan
adalah suatu konsep politik, namun demikian, tidak seperti halnya konsep
tentang demokrasi atau monarki, kedaulatan bukanlah tentang tempat kekuasaan
itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen atau birokrasi, karena
kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan.
Kedaulatan juga tidak dapat disamakan dengan tertib hukum (order) maupun
keadilan (justice) karena kedaulatan tidak menggambarkan tujuan dari
pelaksanaan kekuasaan. Kedaulatan adalah suatu hal dan meliputi banyak hal (the
one or the many) Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan
dengan hubungan antara kekuasaan politik dan bentuk-bentuk otoritas lainnya.
Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati bahwa : pertama,
kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka organisasi atau otoritas lain
di dalam masyarakat seperti religius, kekeluargaan dan ekonomi, kedua, kedaulatan menegaskan
bahwa otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas (autonomous
and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior) dari institusi yang
ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan independen atau bebas dari pihak
luar.
2.2.2
Book Report
Ajaran kedaulatan yang dikemukakan oleh Bodin ini kemudian
berkembang seiring dengan perkembangan sejarah politik yang bergeser dari
kuatnya kekuasaan system monarki (kerajaan) menuju system demokrasi (kedaulatan
rakyat) yang masih disanjung tinggi hingga penghujung millennium ketiga saat
ini. Istilah kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dan
Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam
perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana
untuk menunjuk pada suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang
dahulu sangat absolute telah runtuh
legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang digunakan dalam
istilah “demokrasi” (demos = rakyat= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule).
Dalam perkembangannya kemudian para ahli beranggapan bahwa untuk
menentukan kekuasaan tertinggi dalam negaranya, tidak dapat dilepaskan dari
alasan teoritis atau anggapan yang menjadi dasar dari adanya suatu Negara.
Dengan perkataan lain, teori-teori kedaulatan akan senantiasa bertalian dengan
teori-teori mengenai pembenaran (legistimasi) Negara (rechtsvaavrdigingstheorien)yang dipandang dari segi sosiologis
(secara menyeluruh = Ganzheit).
2.2.3
Perbandingan
Jika didalam
jurnal dijelaskan bahwa satu
permasalahan terkait konsep kedaulatan (sovereignty) adalah tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep politik,
namun demikian, tidak seperti halnya konsep tentang demokrasi atau monarki, kedaulatan
bukanlah tentang tempat kekuasaan itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya
dengan parlemen atau birokrasi, karena kedaulatan tidak menggambarkan
institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan. Sedangkan didalam book report Istilah kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
dan Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam
perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana
untuk menunjuk pada suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang
dahulu sangat absolute telah runtuh
legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang digunakan dalam
istilah “demokrasi” (demos = rakyat= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule). Di dalam book report di sebutkan pula bahwa ada beberapa
teori kedaulatan, yaitu :
a)
Teori
Kedaulatan Tuhan
b)
Teori
Kedaulatan Raja
c)
Teori
Kedaulatan Rakyat
d)
Teori
Kedaulatan Negara
e)
Teori
Kedaulatan Hukum
f)
Teori
Kedaulatan Pluralis
2.3
Sejarah
Demokrasi
2.3.1
Jurnal Demokrasi Indonesia dari Masa ke
Masa
1.
Paradoks Masa Orde Lama
Persoalan
di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam
kehidupan bangsa. Akan tetapi seperti dikatakan Apter, persoalan demokrasi adalah
semata-mata merupakan penciptaan manusia, yang di satu sisi mencerminkan keterbatasan
dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia.
Beranjak dari semangat dan kerangka proposisi di atas, maka
melumernya corak demokratik dan egaliter—sebagai cita-cita sesungguhnya budaya
Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik di
Indonesia. Dapat diambil contoh kasus
ketika terjadinya proses pemindah-alihan kekuasaan beamtenstaal Belanda
ke tangan Republik,
ternyata justru tidak membawa perubahan yang berarti. Perubahanperubahan yang terjadi lebih banyak
bergerak pada peringkat estesis-simbolik ketimbang etissubstantif. Semangat
egaliterian budaya demokratik yang terpatri dalam angan-angan masyarakat menjadi sirna,
setelah pernyataan kemerdekaan dicoba untuk diwujudkan secara
politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan
parlementer, dan secara ekonomis dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas menengah pribumi yang
kukuh Obsesi dari pilihan politik dan
ekonomi semacam ini adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu menopang tegaknya
masyarakat berdaya (civil society). Jika hal ini dapat terwujud diharapkan demokrasi akan
menampakkan dirinya secara nyata.
Namun
sayangnya, persyaratan yang hendak diwujudkan tersebut, terutama adanya kelas menengah yang kuat sebagai
aktor sentral untuk menopang demokrasi, tidak ditemukan. Pembangunan semesta yang
dicanangkan Presiden Soekarno untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi
perekonomian nasional yang bercorak lebih sosialis terbukti gagal total, akibat tidak adanya dukungan
struktur politik yang mapan dan demokratis. Kelas menengah yang diharapkan akan lahir pun
sulit diketemukan. Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu
direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan
jati diri dan budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan
penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya
bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat
itu. Maka
kemudian, Soekarno mencoba sistem Demokrasi Terpimpin, yang katanya menjadi demokrasi khas Indonesia.
Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun
praktik yang meluas dalam kehidupan bangsa dan negara justru adalah kekuasaan yang serba
terpusat (sentralistik) pada diri Soekarno. Bung Karno selaku Presiden bahkan memperagakan
pemerintahan diktator dengan membubarkan Konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan
lawanlawan politiknya yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa Orde
Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965.
2. Masa Orba
Seiring
dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut, unsur-unsur
"di luar" masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang
menjadi wahana tumbuhnya
logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, diinterpretasikan bahwa
budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan
sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui
pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan
militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Demokrasi Indonesia di sinilah kemudian terjadi proses
penyingkiran corak egaliter dan demokratik dari budaya bangsa Indonesia dan
kemudian digantikan oleh corak feodalistik, yang dimungkinkan karena dua hal pokok (Suharso,
2002). Pertama, melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di bawah
satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia
secara nyata dan operasional. Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya
berkaitan dengan kenyataan di
masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak. Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran politik massa.
masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak. Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran politik massa.
Yang
terjadi kemudian adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan lewat
Soeharto, MPR, DPR,Pers, Partai Politik, Ormas dan hampir seluruh institusi sosial politik
kenegaraan yang "dipasung" secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam
situasi seperti itu adalah demokrasi semu, "demokrasi jadi-jadian". Paradoks demokrasi
ini pada akhirnya juga runtuh pada tanggal 21 Mei 1998.
3 Reformasi
Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia
sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien
Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan
secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming
munculnya banyak
parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya. Yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada
korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada system otoritarian dan militeristik?
parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya. Yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada
korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada system otoritarian dan militeristik?
2.3.2
Book Report
Sejarah demokrasi juga tidak dapat dilepaskan dari masalah
pembahasan mengenai bentuk pemerintahan Negara ( form of government ). Peninjauan masalah bentu Negara merupakan
pembahsan mengenai dalam bentuk apa organisasi Negara itu menjelma dalam
masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan pembahsannya merupakan batas antara
peninjauan secara sosiologis dan yuridis.
2.3.3
Perbandingan
Jika di dalam
jurnal di jelaskan bahwa sejarah munculnya demokrasi yaitu terbagi dala
beberapa masa/ paradoks. Diantaranya yaitu pada masa orde lama, orde baru, dan
juga era reformasi. Akan tetapi jika di dalam book report di sebutkan bahwa
sejarah demokrasi tidak dapat dilepaskan dari masalah pembahasan mengenai
bentuk pemerintahan Negara (form of
government).
2.4
Teori Politik Tentang Demokrasi
2.4.1
Jurnal Teori
Politik Dan Ideologi Demokrasi
1)
Teori
Demokrasi Substantif.
Mendefinisikan demokrasi dengan
istilah-istilah " kehendak rakyat (the will) of the people ;
kebaikaan bersama dan kebajikan publik (the
common good).
Dengan demikian
demokrasi dilihat dari sisi sumber dan tujuan. Demokrasi tidak akan efektif
dan lestari
tanpa adanya substansi demokrasi, berupa, jiwa, kultur atau ideologi
demokratis yang
mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga
pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan.
Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi,
paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan
mereka. Teori demokrasi substantif ini bersifat normatif, rasionalistik,
dan idealistik.
2)
Teori
Demokrasi Schumpetarian
Pandangan demokrasi substantivist (klasik) yang menekankan demensi sumber
dan tujuan- mendapatkan sanggahan dari Joseph Schumpeter dalam bukunya
berjudul "Capitalism,
Socialism and Democracy" yang terbit tahun 1942. Dalam
buku itu,
Schumpeter menyatakan secara rinci kekuarangan teori demokrasi klasik serta
mengemukan teori
lain mengenai demokrasi. Menurut Schumpeter, yang oleh teorisasi klasik disebut
kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor
penggeraknya.
Dengan demikian, berbeda dengan klasik, Scumpeter lebih menekankan pada
prosedur atau metode demokrasi. Sehingga, konsep demokrasi Schumpeter lebih
bersifat empirik, dekriptif, instititusional dan prosedural. Karena
menekankan
prosedural maka konsep demokrasi shumpeter disebut juga demokrasi
prosedural.
Oleh Schumpeter metode
demokrasi dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan
untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh
kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat. Konsep
Schumpeter mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak tahun
1970-an, serta mewarnai pemikiran ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset. Warna Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi. Di Palma mengemukan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksitensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik. Senada dengan itu muncul karya Robert Dahl (1973) yang merumuskan tatanan politik yang disebut Polyarchy. Polyarchy merupakan istilah yang dikemukan
oleh Dahl untuk mengganti kata demokrasi. Bagi Dahl, demokrasi mengandung dua demensi kontestasi dan partisipasi. Karena menekankan dua demensi ini maka konsep demokrasi ini sering disebut demokrasi minimalis. Dalam melihat bagaimana demokrasi bekerja cukup dilakukan dengan dua ukuran minimal yaitu sebagai berikut :
1970-an, serta mewarnai pemikiran ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset. Warna Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi. Di Palma mengemukan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksitensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik. Senada dengan itu muncul karya Robert Dahl (1973) yang merumuskan tatanan politik yang disebut Polyarchy. Polyarchy merupakan istilah yang dikemukan
oleh Dahl untuk mengganti kata demokrasi. Bagi Dahl, demokrasi mengandung dua demensi kontestasi dan partisipasi. Karena menekankan dua demensi ini maka konsep demokrasi ini sering disebut demokrasi minimalis. Dalam melihat bagaimana demokrasi bekerja cukup dilakukan dengan dua ukuran minimal yaitu sebagai berikut :
a)
seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau
oposisi yang memungkinkan
(Liberalisasi).
(Liberalisasi).
b)
seberapa banyak warganegara yang memperoleh
kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi
politik itu (Inclusiveness).
Berdasarkan dua
demensi tersebut, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: hegemoni
tertutup (kompetisi dan partisipasi sama-sama rendah) ; oligarki kompetitif
(kompetisi tinggi tetapi partisipasi rendah) ; hegemoni inklusif (partisipasi
tinggi-kompetisi
rendah) dan Poliarki (partisipasi dan kompetisi tinggi). Adanya jaminan
untuk membentuk dan bergabung pada organisasi, termasuk partai politik
dan kelompok kepentingan.Senada dengan Dahl, Diamond, Linz dan Lipset
merumuskan demokrasi sebagai suatu system pemerintahan yang
memenuhi tiga syarat pokok :
a.
kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara
individu individu dan kelompok-kelompok
organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan
pemerintahan yang mempunyai kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang
reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa.
b.
Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin
warga dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan,
paling tidak melalui pemilihan umum yang dislenggarakan secara reguler dan adil,
sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok yang dikecualikan.
c.
Kebebasan sipil dan politik; kebebasan berbicara,
kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk
dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas
kompetisi dan partisipasi politik.
3) Demokrasi Prosedural
yang diperluas
Penekanan demokrasi Schumpeter pada sisi procedural
membuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang
"kekeliruan elektoralisme" dimana demokrasi Schumpeterian
mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan
yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak
sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing datam memperebutkan
kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti
perlindungan pada kelompok-kelompok marginal dan minoritas). Kritik ini juga
diarahkan pada
munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu). Kritik ini
menimbulkan konsep demokrasi prosedural yang diperluas dengan menambahkan
demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekanan pada
demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond,
yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi :
a. Kontrol terhadap negara, keputusan dan alokasi sumberdaya dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih;
1)
Kekuasaan
eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan faktual oleh kekuasaan otonom
institusi pemerintahan yang lain.
2)
Kebebasan untuk membentuk partai politik dan
mengikuti pemilu.
3)
Adanya
kesempatan pada kelompok-kelompok minoritas untuk mengungkapkan kepentingannya.
4)
Kebebasan
bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan
dan gerakan independen.
5)
Tersedianya
sumber informasi alternative.
6)
Setiap
individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi,
berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat.
7)
Setia
warga negera mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum.
8)
Kebebasan
indivisu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang
independen dan tidak diskriminatif.
Universitas Gadjah Mada
Universitas Gadjah Mada
9)
.Rule of law melindungi
warga negara dari penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror,
penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasna dalam kehidupan
pribadi baik
oleh warga negara maupun kekuatan non organisasi non negara dan anti negara.
4 .Teori Demokrasi Sosial
Konsep demokrasi prosedural-liberal yang
hanya menekankan demensi politik
(demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme.
Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut demensi persamaan dan
kebebasan melainkan mengandung didalamnya konsep keadilan sosial.
Dalam pandangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud
ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara struktural
mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh
kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu.
Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimbulkan
paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep
demokrasi minimalis. Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico paska transisi dari rezim otoriter.
(demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme.
Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut demensi persamaan dan
kebebasan melainkan mengandung didalamnya konsep keadilan sosial.
Dalam pandangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud
ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara struktural
mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh
kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu.
Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimbulkan
paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep
demokrasi minimalis. Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico paska transisi dari rezim otoriter.
2.4.2
Book Report
Teori politik adalah bahasan dan
generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori
politik adalah bahasan dan renungan atas : (a) tujuan dari kegiatan politik, (b)
cara-cara mencapai tujuan itu, (c)
kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi
politik yang tertentu, (d) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan
politik itu.
Tiga model teori demokrasi dalam klasifikasi Gould, yaitu :
(1) model indivudualisme liberal
(2) model pluralisme
(3) model sosialisme holistik.
2.4.3
Perbandingan
Dapat dilihat perbedaan antara jurnal dengan book report, bahwa
pada book report dijelaskan mengenai teori politik dan juga beberapa model
teori demokrasi secara rinci. Adapun model teori demokasi yang dijelaskan dalam
book report yaitu, model individualisme liberal, model pluuraisme, dan model
sosialisme holistik. Sedangkan jika di lihat isi/penjelasan dari jurnal maka
didapatkan beberpa macam teori mengenai demokrasi diantaranya yaitu teori
demokrasi subtantif, teori demokrasi
Schumpetarian, dan teori demokrasi procedural yang diperluas.
2.5 Metodelogi
Demokrasi
2.5.1
Jurnal
Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi
Di Indonesia
Metode
demokrasi berjalan dimulai dengan adanya kebebasan hak pilih setiap warga Negara
untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Prinsip suara mayoritas
merupakan hal yang essensial untuk mencapai keputusan dalam konsep demokrasi.
Prinsip Mayoritas paling sedikit terdiri dari 3 tipe: 1) Mayoritas absolute, yaitu
setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; 2) Mayoritas biasa,
yaitu apabila keputusan disetujui oleh sebanyak-banyak suara sehingga tampak
perbedaan antara mayoritas dan
minoritas; 3) Mayoritas bersyarat, yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu seperti, 2/3 atau 3/4 suara.
minoritas; 3) Mayoritas bersyarat, yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu seperti, 2/3 atau 3/4 suara.
Esensi dari
ke tiga tipe kaidah mayoritas ini tetap sama, yaitu suara mayoritas adalah
pemenang dari proses pembuatan keputusan yang bebas dan berkesamaan itu. Model
pengambilan keputusan demokratis lainnya yang mendasarkan diri pada tahap-tahap
perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Sistem Konsensus: yaitu
setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum keputusan itu dilakukan.
Jadi, sistem ini menghendaki suatu keputusan secara bulat; 2) Sistem Ganda atau
Bergilir: sistem ini ditemukan pada bentuk demokrasi – ganda yang ditandai
dengan adanya perwakilan secara bergiliran dari dua kelompok besar keluarga
atau klan. Sistem ini menganut sistem dwipartai dan tidak didasarkan atas
pemilihan umum melainkan pergiliran kekuasaan belaka;
3) Sistem Mayoritas: sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas untuk menentukan suaramayoritas. Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern
3) Sistem Mayoritas: sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas untuk menentukan suaramayoritas. Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern
2.5.2
Book
Report
Metode
demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan
politik dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan
alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat” dan “Keinginan rakyat adalah
hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dari proses politik itu” serta tidak
terdapat dugaan bahwa (1) ada kebutuhan bagi ukuran moral dalam keputuan-keputusan
tersebut (2) keputusan-keputusan tersebut berhubungan dengan keinginan yang
dikehendaki rakyat (3) da satu tututan pertanggungjawaban rakyat dalam seluruh
proses tersebut.
2.5.3
Perbandingan
Perbandingan
antara jurnal kajian filsafat hukum tentang demokrasi di Indonesia
dengan book report yaitu apabila didalam book report di jelaskan mengenai
pengambilan hukum yang merepresentasikan pengambilan kebenaran dan
keadilan yang akan dituangkan dalam format yuridis (hukum positif yang
berlaku). Putusan yang diambil itu adalah’kebenaran dan keadilan’yang
dipersepsi oleh rakyat melalui persepsi wakil-wakilnya (dalam demokrasi
perwakilan). Sedangkan di dalam jurnal model
pengambilan keputusan demokratis lainnya yang mendasarkan diri pada tahap-tahap
perkembangan masyarakat seperti sistem consensus, sistem ganda/bergilir dan
juga sistem mayoritas bersyarat.
2.6
Demokrasi dalam Perspektif Etika
2.6.1
Jurnal
Etika Politik dalam Negara Demokrasi
Etika
politik termasuk dalam kelompok etika sosial yakni yang membahas norma-norma moral yang seharusnya menimbulkan sikap dan tindakan antar manusia, karena hampir
semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Etika politik tidak menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara. Etika bersifat reflektif yakni memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana masalah masalah kehidupn dapat dihadapi,tetapi tidak menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya. Dengan demikian etik politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya . Karena kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikan manusia sebagai warga negra tidak identik. Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan pemikiran pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, rasional, objektif dan argumentatif. oleh karena itu tugas etika politik subsider dalam arti membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologi dapat dijalankan dengan objektif artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua pihak yang mengerti permasalahan. Etika politik dapat memberikan patokan-patokan, orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang ingin menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia .
semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Etika politik tidak menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara. Etika bersifat reflektif yakni memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana masalah masalah kehidupn dapat dihadapi,tetapi tidak menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya. Dengan demikian etik politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya . Karena kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikan manusia sebagai warga negra tidak identik. Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan pemikiran pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, rasional, objektif dan argumentatif. oleh karena itu tugas etika politik subsider dalam arti membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologi dapat dijalankan dengan objektif artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua pihak yang mengerti permasalahan. Etika politik dapat memberikan patokan-patokan, orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang ingin menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia .
Selain
itu etika politik dapat berfungsi sebagai sarana kritik ideologi (bukan Negara dan hukum) berupa paham paham dan strategi legitimasi yang mendasari penyelenggaraan negara. Jadi etika politik hanya dapat membantu usaha masyarakat untuk
mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Misalnya, dengan merefleksikan inti/ hakikat keadilan sosial, bagaimana kekuasan harus ditangani agar sesuai dengan martabat manusia.
mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Misalnya, dengan merefleksikan inti/ hakikat keadilan sosial, bagaimana kekuasan harus ditangani agar sesuai dengan martabat manusia.
2.6.2
Book
Report
Etika politik demokrasi disini berupaya
mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran dan
keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat
mayoritas. Kehendak rakyat yang dikontruksi lewat suara mayoritas yang bebas
dan memiliki kesamaan hak politik itu dapat menjadi legitimasi bagi kekuasaan
politik dan tindakan politik (legitimasi sosio-politik).
2.6.3
Perbandingan
Di
dalam jurnal menjelaskan tentang fungsi etika politik dalam kehidupan
bernegara. Sedangkan jika di dalam book report etika politik demokrasi disini
berupaya mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran
dan keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat
mayoritas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam proses analisis kritis terhadap
demokrasi teoritis sebagai ajaran moral mengenai tatanan politik, maka
penggunaan filsafat menjadi sangat penting untuk memahami hakikat eksistensial
dari demokrasi. Setelah menemukan pengertian filosofis dari demokrasi barulah
di telaah titik lemahnya dari perspektif etika. Jika secara teoritis demokrasi
tidak memadai dari sisi etika, maka ia tidak berhak untuk diklaim sebagai teori
politik yang etis atau sebagai landasan bagi etika politik modern. Upaya
transformasi menuju kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip etika dasar menjadi
jalan keluar agar demokrasi tidak cepat usang menghadapi kritik filsafat pada
masa ini.
Demokrasi adalah spirit
(ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dangan
segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara
mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis.Lebih lanjut dapat dipahami
bahwa demokrasi ingin mengawinkan antara fenomena politik, hukum, dan moral itu
dalam suatu kontruksi teoritis yang modern.Pengertian umum itu menurut penulis
telah mencakup unsur-unsur umum yang konvergen sebagaimana telah dikemukakan
oleh banyak penulis.
Demokrasi diklaim sebagai salah satu prinsip
dari etika politik modern yang utama, disamping konsep tentang hak-hak asasi
manusia, konsep distributive justice, good governance, civil society, dan
lain-lain. Jadi, perlu kita pahami bahwa sering kali ada klaim yang tertolak
bahwa suatu praktik politik yang etis dan modern harus di dasarkan
prinsip-prinsip demokrasi. Artinya suatu praktik politik yang etis mestilah
demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Elly Noviati, Cora. 2013. Jurnal : Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Di unduh pada 25-04-2018 pukul 15.15 WIB.
Febria Nurita, Rizky. 2011. Jurnal : Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta.
Di unduh pada 27-04-2018 pukul 19.05 WIB.
Hariantati, Runi. 2003. Jurnal : Etika Politik dalam Negara Demokrasi. Bandung. Di unduh pada
25-04-2018 pukul 15.18 WIB.
Hendrawanto. 2010. Jurnal : Teori Politik dan Ideologi Demokrasi.
Jakarta. Di unduh pada 25-04-2018 pukul 15.25 WIB.
Nurtjahyo,
Hendra. 2008. Filsafat Demokrasi.
Jakarta : PT. Bumi Aksara
Purnaweni, Hartuti. 2006. Jurnal : Demokrasi Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta. Di unduh pada
25-04-2018 pukul 15.30 WIB.
Riyanto, Sigit. 2013. Jurnal : Kedaulatan
Negara. Bandung. Di unduh pada 27-04-2018 pukul 19.15 WIB.
Komentar
Posting Komentar