Langsung ke konten utama

Book Report (Filsafat Demokrasi)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hal yang dipertaruhkan dalam tulisan ini adalah pernyataan penulis bahwa konsep teoritis demokrasi bukanlah teori politik yang langsung dapat dikatakan etis. Pengertian teoritis dihepotesikan sebagai teori politik dalam pemahaman konvensional, memiliki kelemahan atau kerapuhan yang inheren di dalam tatanan prinsip-prinsipnya, khususnya hal yang berkenaan metodologi dari demokrasi itu sendiri.
Jika di tuangkan dalam bentuk hipotesis, apa yang dijadikan soal dalam pembahasan ini adalah jika demokrasi secara teoritis memiliki kelemahan etis yang jelas dalam prinsip-prinsip esensial yang membentuknya, maka demokrasi tidak dapat dinyatakan sebagai teori politik yang etis sesungguhnya, atau dengan kata lain tidak memadai dalam perspektif filsafat. Namun demikian, agar tulisan ini tidak hanya terhenti pada kritik tanpa upaya untuk masuk ke dalam pemahaman lebih komprehensif kita dapat menyatakan hipotesis selanjutnya, yaitu jika teori politik demokrasi dapat memenuhi syarat-syarat filosofis (prinsip-prinsip etika), maka akan dapat di wujudkan teori politik demokrasi yang etis.  Artinya, ada pengaruh dari prinsip-prinsip etika fundamental sebagai prasyarat terhadap suatu teori demokrasi untuk sampai dapat dikatakan sebagai teori politik yang etis sesungguhnya.
            Penelitian yang berkenaan dengan etika politik ini memiliki urgensi dan kegunaan yang tinggi mengingat permaslahan sosial politik yang semakin luas dibicarakan. Pembicaraan soal etika politik yang dikaitkan dengan teori demokrasi merupakan bidang kajian yang signifikan untuk disumbangkan dalam kerangka penafsiran legitimasi dan persepsi demokratis yang di inginkan dalam kehidupan politik yang sehat. Untuk itulah penelitian ini memiliki arti tersendiri dalam mengantisipasi teori dan konsep dinamik dari demokrasi yang selama ini menjadi landasan dari etika politik modern.
            Hasil dari etika sebagai kajian refleksi filosofis ini akan menjernihkan adanya klaim demokrasi sebagai teori politik yang etis. Secara logis dapat dikatakan bahwa kajian refleksi ini melakukan proses penjernihan etika terhadap ajaran demokrasi yang dipahami sebatas itu, demokrasi bisa kehilangan kedalaman landasan etisnya, dan dapat jatuh pada praktik diktator mayoritas, rekayasa anarki, atau pembelokan (manipulasi) kehendak rakyat, yang bersifat tidak peduli terhadap apa yang baik, apa yang adil serta apa yang secara fundamental etis, sehingga akhirnya dapatlah dipahami bahwa disini studi etika dijadikan pisau analisis dan teropong filosofis terhadap konsep demokrasi. Proses ini untuk mendapatkan pemahaman hakiki yang lebih jernih dan etis dari ajaran demokrasi melalui metode kritis yang runtut.
            Informasi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa ide demokrasi telah mengalami penafsiran yang banyak sekali dalam bentuknya kemudian. Dalam literatur pernah pernah terungkap ada lebih dari 300 varian demokrasi sehingga demokrasi yang murni sering diposisikan dalam praanggapan bahwa konsep ini perlu pemahaman atas transformasi dari  demokrasi Yunani kuno, demokrasi yang konvensional menuju demokrasi modern yang rasional dan etis.
Dalam proses analisis kritis terhadap demokrasi teoritis sebagai ajaran moral mengenai tatanan politik, maka penggunaan filsafat menjadi sangat penting untuk memahami hakikat eksistensial dari demokrasi. Setelah menemukan pengertian filosofis dari demokrasi barulah di telaah titik lemahnya dari perspektif etika. Jika secara teoritis demokrasi tidak memadai dari sisi etika, maka ia tidak berhak untuk diklaim sebagai teori politik yang etis atau sebagai landasan bagi etika politik modern. Upaya transformasi menuju kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip etika dasar menjadi jalan keluar agar demokrasi tidak cepat usang menghadapi kritik filsafat pada masa ini.
1.2  Resume Book Report
1.2.1 Legitimasi Kekuasaan Pemerintah
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh Pemerintah Negara) dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Perlu ditegaskan disini bahwa pertanggungjawaban publik merupakan manifestasi dari tanggung jawab rasional atas kekuasaan. Secara singkat dan tanpa pendasaran lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah utama dari etika politik disamping juga sebagai medan bahasan dari filsafat politik adalah masalah legitimasi, legitimasi dalam arti etis. Dalam bahsan legitiasi inilah etika politik dapat bertemu dengan filsafat politik.
Legistimasi etis (filosofis) adalah penyempurnaan akhir dari kemauan dan kemampuan berkuasa. Walaupun seorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak legitimasi  sebagai background kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitismasi etisnya. Tanpa legistimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan, suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggun waktu untuk dijatuhkan. Apakah itu lewat cara pemberontakan sosial atau demonstrasi , revolusi atau reformasi, maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, yang jelas akan ada gerakan reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi peyang rtanggungjawaban politiknya yang konkret dan etis.
Suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen)  negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat, rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adaah ukuran utama dalam menilai kemampuan legistimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang legitim (sah) tidak selalu cakap dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.
Demokrasi diklaim sebagai salah satu prinsip dari etika politik modern yang utama, disamping konsep tentang hak-hak asasi manusia, konsep distributive justice, good governance, civil society, dan lain-lain. Jadi, perlu kita pahami bahwa sering kali ada klaim yang tertolak bahwa suatu praktik politik yang etis dan modern harus di dasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya suatu praktik politik yang etis mestilah demokratis.
Perspektif etis-filosofis selalu memberikan nuansa kritik terhadap konsep dan praktik-praktik politik. Ia memberikan kesadaran bahwa prinsip-prinsip etika politik tidak bersifat mutlak melainkan selalu dapat dan harus dipertanyakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip moral dasar yang sendiri kebal terhadap penyalahgunaan ideologis karena tidak dapat dipakai untuk membenarkan kebijakan-kebijakan konkret. Legistimasi etis menunjukkan eksistensinya yang berdiri sendiri dari legistimasi-legistimasi lainnya.
Dalam tulisannya, the Prince, Machiaveli dengan tegas menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Dia menyatakan tidak ada hukum kecuali kekuatan yang memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan itu. Hukum adalah norma yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada kelupaan atas asal usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan, sedangkan moralitas (etika) tidak berdaya.





1.2.2        Sejarah Teori Kedaulatan
Orang yang pertama kali membahas masalah kedaulatan adalah Jean Bodin, sehingga kemudian ia disebut sebagai bapak teori kedaulatan dalam khazanah kajian ilmu Negara. Jean Bodin mengartikan kedaulatn sebagai wewenang tertinggi yang tidak dapat dibatasi oleh hokum.Wewenang ini ada pada penguasa (pemerintah negara) mengatasi segala warga Negara dan orang-orang lain di dalam ruang lingkup wilayahnya. Dalam hal ini sebenarnya Bodin ingin mengatakan bahwa kekuasaaan raja (kedaulatan penguasa) berada di atas hokum atau undang-undang. Penguasa atau orang yang mengatasnamakan Negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk memutuskan apa saja.
Ajaran kedaulatan yang dikemukakan oleh Bodin ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan sejarah politik yang bergeser dari kuatnya kekuasaan system monarki (kerajaan) menuju system demokrasi (kedaulatan rakyat) yang masih disanjung tinggi hingga penghujung millennium ketiga saat ini. Istilah kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dan Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana untuk menunjuk pada suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang dahulu sangat absolute telah runtuh legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang digunakan dalam istilah “demokrasi” (demos = rakyat= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule).
Dalam perkembangannya kemudian para ahli beranggapan bahwa untuk menentukan kekuasaan tertinggi dalam negaranya, tidak dapat dilepaskan dari alas an teoritis atau anggapan yang menjadi dasar dari adanya suatu Negara. Dengan perkataan lain, teori-teori kedaulatan akan senantiasa bertalian dengan teori-teori mengenai pembenaran (legistimasi) Negara (rechtsvaavrdigingstheorien)yang dipandang dari segi sosiologis (secara menyeluruh = Ganzheit).
Dari segi perkembangan logis historis, teori kedaulatan dapat diklasifikasikan ke dalam enam teori dengan pendekatan menyeluruh, yaitu sebagai berikut :
a)      Teori Kedaulatan Tuhan
b)      Teori Kedaulatan Raja
c)      Teori Kedaulatan Rakyat
d)     Teori Kedaulatan Negara
e)      Teori Kedaulatan Hukum
f)       Teori Kedaulatan Pluralis

1.2.3        Sejarah Demokrasi
Pada awalnya sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa daam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘Politea’ atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘Polyarchy’ sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, cirri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (Negara kot/ city state) yang jumlah penduduknya relative kecil.
Sejarah demokrasi juga tidak dapat dilepaskan dari maslah pembahasan mengenai bentuk pemerintahan Negara ( form of government ). Peninjauan masalah bentu Negara merupakan pembahsan mengenai dalam bentuk apa organisasi Negara itu menjelma dalam masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan pembahsannya merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan yuridis.
Dalam teori ilmu Negara, kita mengenal beberapa segi peninjauan yang membahas masalah bentuk Negara. Pembahasan bentuk Negara, diantaranya yaitu :
1.      Bentuk Negara Tradisional ( Pandangan Aristoteles dan Polybios )
2.      Bentuk Negara menurut Machiavelli
3.      Bentuk Negara Berdasarkan Isi ( Struktur )
Dalam perkembangannya ternyata pengertin demokrasi mencakup kedua unsurnya, yaitu unsur  kebebasan dan persamaan. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat E.H. Carr yang mengemukakan kekurangan dari Demokrasi Barat yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.Beberapa Negara kemudian melengkapi Demokrasi Barat dengan unsure demokrasi yang mengutamakan persamaan. Menurut E.H. Carr, Demokrasi Barat mempunyai tiga kekurangan, yaitu sebagai berikut :
·         Terlampau formil karena cenderung tidak melihat keyataan bahwa dalam masyarakat masih ada lapisan-lapisan yang berbeda terutama dari segi kemampuan ekonomi
·         Terlampau politis karena cenderung tidak memperhatikan segi ekonomi, social, dan budaya dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, sehingga mengesampingkan juga masalah demokrasi ekonomi, demokrasi social dan demokrasi budaya/cultural
·         Demokrasi Barat/liberal kurang memiliki suatu pedoman yang tegas karena tidak adanya kebenaran yang mutlak yang dapat dicapai.
Sejarah kenegaraan menunjukkan bahwa salah satu penyebab kekacauan di dunia adalah tidak adanya persamaan penafsiran antarpara sarjana mengenai arti dan maksud demokrasi. Oleh karena itu, UNESCO membentuk suatu panitia dan mengadakan simposium yang membahas pendapat para sarjana di seluruh dunia mengenai arti dari demokrasi. Salah satu dari para sarjana tersebut adalah Logemann yang menyatakan bahwa sebenarnya setiap bentuk pemerintahan yang selalu mengembalikan pada kekuasaan rakyat adalah demokrasi. Hal ini dapat kita lihat dari ucapan terkenal Presiden Amerika Serikat  Abraham Lincoln, yaitu “Democracy of the people,by the people and for the people.” Akan tetapi, dalam melaksanakan atau menggunakan kekuasaan rakyat tersebut justru menimbulkan perbedaan-perbedaan. Logemann membuat suatu klasifikasi mengenai macam-macam demokrasi, yaitu :
1.      Demokrasi Barat, yaitu demokrasi yang mengutamakan kebebasan seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
2.      Demokrasi Timur, yaitu demokrasi yang mengutamakan persamaan seperti yang dikemukakan oleh Snetleage.
3.      Demokrasi Sederhana, yaitu demokrasi desa dalam masyarakat yang masih sederhana dimana keputusan rakyat tidak menggunakan cara-cara yang dikenal dalam teori demokrasi tetapi menggunakan cara-cara khusus, misalnya msyawarah.
4.      Diktator, terdiri dari Nezisme dan Fascisme. Pemimpin negara dalam hal ini dianggap sebagai eksponen rakyat atau pencermianan dari kepentingan rakyat. Ia merupakan orang yang terkemuka  di antara rakyat, terkemuka di antara yang sama (primus inter pares).

1.2.4        Teori Politik Tentang Demokrasi
1.      Teori Politik
Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah bahasan dan renungan atas :  (a) tujuan dari kegiatan politik, (b) cara-cara  mencapai tujuan itu, (c) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu, (d) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study Of Political Theory, dibedakan dua macam teori politik, sekalipun perbedaan antara kedua kelompok tidak bersifat mutlak
·         Teori-teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norms for political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai maka teori-teori ini boleh dinamakan valutional (mengandung nilai). Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideology dan sebagainya.
·         Teori-teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori ini dapat dinamakan nonvalutionalatau value free. Ia biasanya bersifat deskriptif dan komperatif.

1.      Teori Demokrasi
Tiga model teori demokrasi dalam klasifikasi Gould, yaitu :
(1) model indivudualisme liberl
(2) model pluralisme 
(3) model sosialisme holistik.
Teori demokrasi model individualisme liberal terwakili oleh pemikiran tradisional seperti teori Locke, Jefferson, Bentham, James Mill, dan analisis masa kini seperti oleh Been dan Peters, J.R..Pennock, dan C. Cohen.Model ini menjelaskan demokrasi sebagai pelindung orang dari kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, dan mendudukkan pemerintah sebagai pelindung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan. Model demokrasi ini menginginkan kesamaan universal bagi seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai dengan “satu orang satu suara”.
Teori demokrasi dari kaum pluralis merupakan model teoretis yang munccul dalam tulisan para teoritisi seperti Madison, Dewey, Schumpeter, Dahl, dan Berelson.Teori ini merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang menekankan kepentingan pribadi individu-individu yang lepas. Dalam hal ini pluralismememusatkan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai agregasi dari kepentingan individual, dan pemunculannya akan mengakibatkan konflik dalam proses politik. Sehingga, demokrasi politik ditafsirkan sebagai system pemerintahan yang menangani konflik itu untuk memperoleh keseimbangan social. Menurut teori ini demokrasi politik memaksimumkan terwakilinya individu-individu yang kepentingannya mungkin tidaka akan diwakili scara memadai oleh kekuasaan kelompok tempat ia bergabung. Teori ini juga menyatakan bahwa pluralisme melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan alternative-alternatif politik yang mampu mewakili pluralitass kelompok kepentingan ataupun partai.Struktur poltik yang diciptakannya adalah menutup kemungkinan hegemoni dari suatu kelompok atau partai tunggal.
Anggapan ontologis pandangan sosialisme holistik itu adalah bahwa entitas dasar kehidupan social adalah keseluruhan atau otoritas social.Oleh karena itu, individu-individu ada sebagai bagian dari keseluruhan dan dalam pera maupun fungsinya yang harus dimainkan di dalam keseluhan itu.Secara totalitas di pandang, keseluruhan identik dengan segenap hubungan yang ada di dalamnya.Semua ini merupakan hubungan internal, dalam arti bahwa masing-masing memiliki smua dan di miliki semua. Maka, indivudu-individu dalam keseluruhan tersebut tidak merupakan apapun kecuali apa yang terdapat di dalam hubungan-hubungannya, dan dlam arti ini adalah bagian atau fungsi dari totalitas.
Hal yang menarik dari pandanga sosialisme holistik ini adalah bahwa kebebasan tanpak sebagai kebebasan dari keseluruhan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya melalui kegiatan-kegiatan individu.Kebebasan individu, dengan demikian, diwujudkan sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka membantu teraktualisasikannya potensi totalitas.Jadi, tujuan akhirnya adalah kemakmuran ekonomis totalitas masyarakat, karena tercukupinya ekonomi dipandang sebagai suatu kondisi sebagai kebebasan.
1.2.5        Metodelogi Demokrasi
Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan bukan juga seperangkat tujuan moral (melainkan) suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya. Kata-kata Schumpeter di kutip langsung oleh S.P. Varma sebagai berikut : “Metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat” dan “Keinginan rakyat adalah hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dari proses politik itu” serta tidak terdapat dugaan bahwa (1) ada kebutuhan bagi ukuran moral dalam keputuan-keputusan tersebut (2) keputusan-keputusan tersebut berhubungan dengan keinginan yang dikehendaki rakyat (3) da satu tututan pertanggungjawaban rakyat dalam seluruh proses tersebut.
1.2.6        Prinsip-Prinsip Demokrasi
Konsep kedaulatan rakyat adalah sebuah cara untuk memecahkan masalah yang rumit: “rakyat berkuasa tetapi sekaligus diperintah”. Tidak dapat dibantah bahwa pemerintah/negara adalah pihak yang berkuasa dalam pengaturan masyarakat. Demi kepentingan bersama, rakyat diharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat pemerintah yang bertindak atas nama rakyat.
Dalam konteks inilah konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum dalam menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan yang senantiasa dalam kontrol dan partisipasi rakyat yang penuh. Dibawah ini akan diuraikan dua subbab yang mengolaborasi nilai atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam cita-demokrasi.
1.      Prinsip-prinsip umum demokrasi
Banyak sekali teori demokrasi yang sudah dirumuskan oleh para penulis, sehingga Robert A. Dahl menulis bahwa “… there is no democratic theory there are only democratic theories.” Boleh dikatakan bahwa setiap penulis yang membahas demokrasi memberikan pandangannya tentang pengertian dan ciri-ciri demokrasi. Dibawah inin akan diuraikan beberapa pendapat yang mengutarakan prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari teori demokrasi yang dicanangkan oleh beberapa pakar.
William Ebenstein menyebutkan adanya 8 ciri utama dari konsep demokrasi Baarat, yakni :
(1) empirisme rasional
(2) penekanan pada individu
(3) negara sebagai alat
(4) kesukarelaan
(5) hukum diatas hukum
(6) penekanan pada cara
(7) persetujuan sebagai dasar dalam hubungan antar manusia
(8) persamaan semua manusia.

Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkualisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal 2 alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.
Dari ragam pendapat mengenai nilai-nilai yang terangkum dari teori demokrasi masing-masing bakat tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal :
(1)   adanya nilai-nilai yang bersifat substansial
(2)   adanya nilai-nilai yang bersifat instrumental yang menjadi mekanisme penentu agar persetujuan menjadi abash. Tanpa adanya nilai atau prinsip tersebut, demokrasi tidak mungkin ada, inilah yang penulis sebut sebagai nilai atau prinsip eksistensial dari demokrasi itu.

2.        Prinsip-prinsip eksistensial
Dari seluruh prinsip umum yang tergambar dalam ragam pandangan mengenai teori demokrasi, secara esensial dapat dikembalikan kepada tiga nilai utama yang menjadi prinsip eksistensial yang mendasari tumbuhnya teori demokrasi, yaitu :
(1)   kebebasan
(2)   kesamaan
(3)   kedaulatan suara mayoritas.
Dalam pandangan penulis, ketiga nilai inilah yang menyebabkan demokrasi didukung dan di sanjung sebagai konsep.

1.2.7        Pengertian Demokrasi
1.      Pengertian umum
Demokrasi adalah spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dangan segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis.Lebih lanjut dapat dipahami bahwa demokrasi ingin mengawinkan antara fenomena politik, hukum, dan moral itu dalam suatu kontruksi teoritis yang modern.Pengertian umum itu menurut penulis telah mencakup unsur-unsur umum yang konvergen sebagaimana telah dikemukakan oleh banyak penulis.
2.      Konsep Kekuasaan dan Moralitas
Konsep kekuasaan menurut pemahaman Foucault ini amat menarik, kekuasaan dapat eksis dan beraksi dimana saja dan kapan saja seperti iklan Coco Cola.Dengan demikian, kekuasaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memuat moralitas dan dapat pula tidak memuat moralitas.Kekuasaan dapat dipilah dan dipisahkan dari moralitas.

3.      Penegertian Filosofis
Secara filosofis kita dapat menjawabnya melalui dua pendekatan yaitu dari segi keseluruhannya yang lebih besar, yang didalamnya hal tersebut menjadi anggotanya, dan dari segi bagian-bagiannya yang menyusun barang sesuatu tersebut.

1.2.8        Demokrasi dalam Perspektif Etika
1        Vulnerabilitas Teori Politik Demokrasi
Adanya anggapan umum bahwa demokrasi sudah memiliki substansi etis bukanlah anggapan yang salah.Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah subtansi etis yang tidak dapat dipungkiri.Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk “berkuasa atas dirimya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Disinlah letak substansi etis dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian substansi atau pengertian etis disini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk menentukan kebenaran dalam setiap mekanisme pengambilan keputsan.Apa yang dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai kebenaran yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Dari seluruh paparan mengenai operasionalisasi dari prinsip-prinsip utama demokrasi dan substansi etisnya yang dilekatkan pada persetujuan rakyat mayoritas, dapat dicatat beberapa kelemahan teoritis (vulnerabilitas) dari acuan teoritis demokrasi tersebut.
Beberapa hal penting yang dapat diungkapkan sebagai hasil analisis, adalah sebagai berikut.
a)     Pelaksanaan prinsip kebebasan melalui pengapsahan dari suara mayoritas dapat mematikan prinsip-prinsip baik lainnya yang berpotensi mengembangkan kehidupan yang sehat bagi masyarakat (kolektif)
b)     Metodologi demokrasi telah menempatkan metode kuantitatif (suara mayoritas) dalam menemukan putusan yang dipersepsi oleh rakyat sebagai kebeneran dan keadilan, artinya mengabaikan secara umum metode kualitatif. Apa yang diputuskan oleh suara mayoritas melalui parlemen dapat diakui abash (konstitusional) walaupun putusan tersebut dapat bertentangan dengan nilai-nilai etika fundamental
c)     Secara paradoksal, dapat dicermati bahwa ada pertegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesamaan. Prinsip lesetaraan itu berpotensi merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Viceversa, prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesamaan (kesederajatan). Pelaksanaan prinsip pelaksanaan politik dapat mereduksi bahkan mematikan potensi individu-individu yang berkualitas untu menjadi penentu yang diapresiasi sebagai factor pemaju peradaban
d)    Produk atau outputdari proses aturan main demokrasi dianggap tidak dapat diganggu gugat sebagai kebijakan public.
e)     Kontradiksi factual dari prinsip kesamaan dan prinsip kebebasaan. Kekuatiran bahwa kesetaraan atau kesamaan akan dapat merusak atau merongrong kebebasan warga bukan lah hal yang tidak nyata.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi tidak seutuhnya identik dengan moralitas, dalam hal ini etika, walaupun secara kategoris demokrasi memiliki substansi etik dan menjadi bagian dari lingkup etika politik.Artinya pula, sesuatu yang dianggap demokratis itu tidak langsung dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik atau etis. Etika politik demokrasi disini berupaya mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat mayoritas.Kehendak rakyat yang dikontruksi lewat suara mayoritas yang bebas dan memiliki kesamaan hak politik itu dapat menjadi legitimasi bagi kekuasaan politik dan tindakan politik (legitimasi sosio-politik).
2.      Keadilan, Kemakmuran, Dan Demokasi
Kalau ditelaah dari kacamata hukum demokrasi ingin mewujudkan social justice yang diabsahkan menjadi legal justice, sehingga negara dan aparatur nya dapat melaksanakan utusan justice itu dalam tindakan nyata.Social justice itu dapat diperoleh melalui dua jalan pertama, melalui lembaga politik semisal DPR.Kedua, melalui lembaga pro-yustisia (judicial) semisal pengadilan atau bisa juga lewat lembaga abitrase. Dalam uraian dibawah ini penulis akan menjabarkan pemikiran bahwa keadilan lebih menjadi prioritas ketimbang mewujudkan kemakmuran. Tuntutan keadilan itu dapat muncul secara evolusi, reformasi maupun secara revolusi.Jadi, dapat ditegaskan bahwa keakmuran tanpa (didahului) keadilan tidak aka ada artinya secara moral bagi kehidupan manusia yang beradab. Penulis beranggapan bahwa keadilan akan dapat membawa kepada kemakmuran.
Mungkin dapatlah dipahami secara singkat bahwa naluri untuk hidup makmur dapat berjalan sendiri. Tetapi naluri untuk berbuat adil terhadap orang lain dan lingkungan sering kali terhambat oleh kepentingan-kepentingan subjektif. Keadilan harus senantiasa komunikatif dan interaktif antar komponen kehidupan.Keadilan tidak bisa adil untuk diri sendiri dengan pola keadilan yang didudukkan lebih dahulu tentulah kemakmuran yang tersebar juga adalah kemakmuran interaktif yang artinya adalah pemerataan.Disinilah letak keterkaitan signifikan antara keadilan dan kemakmuran.

3.      Konvergensi Transformatif Pengeretian Demokrasi Kedalam Etika Dasar
Secara logis suatu teori politik demokrasi dan bentuk pemerintahan demokrasi harus bersandar pada nilai-nilai eksistensial konsep demokrasi. Nilai-nilai ini dapat di derivasikan dan dirumuskan kedalam suatu perangkat etika tersendiri, yaitu etika atau ajaran moral demokrasi.Dalam hal ini etika demokrasi dengan materi filsafat nya harus dapat menjawab tantangan perkembang era modern, era subernetik melenium.
Sesuatu demokrasi yang memahami etika dan berkesadaran etis akan mnumbuhkan suasana tertib politik dalam mekanisme check and balanceyang utuh dan accountable. Pilihan untuk menyelenggarakan sistem demokrasi yang memperhatikan secara serius prinsip-prinsip etika dasar adalah demokrasi yang menjalankan dengan sopan santun politik.
Perlu dipahami bahwa konsep demokrasi itu bukanlah konsepsi yang telah final dan absoulut walaupun ada prinsip-prinsip dasarnya yang sangat sulit untuk berubah sebagai dasar keberadaannya.Dalam pemahan komprelhensip dan historis, konsep ini bersifat dinamis dan kontekstual oleh sebab itu sistem yang mengikuti pola dan konsep itu dapat pula berkembang sesuai dengan terungkapnya potensi-potensi kemanusiaan dan temuan-temuan manusia sepanjang sejarah.

4.      Budaya Politik Demokrasi
Relevansi etika politik dengan pengertian budaya politik dapat dilihat sebagai berikut.Asumsi dasar yang digunakan dalam mengkaji budaya politik adalah bahwa terdapat hubungan yang deterministis antara nilai yang dianut dengan tingkah laku seseorang atau masyarakat.Nilai-norma merupkan patokan atau pedoman ketika seseorag bertingkah laku. Nilai-nilai itu memberikan batasan antara yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah atau apa yang boleh atau tidak boleh untuk dilakukan. Sebaliknya, tingkah lku merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang dianut.
Budaya politik yang menyangkut nilai dan persepsi ini menjadi begrounddari prilaku etis seseorang dalam berpolitik.Tingkah laku politik yang demokratis adalah buah dari budaya politik demokratis yang ditanamankan dalam masyarakat. Jika nilai yang ditanamkan dan informasi yang disosialisasikan berlawanan dengan prinsip demokrasi, sulit diharapkan akan lahir prilaku politik yang demokratis sebaliknya, jika diseminasi nilai demokrasi efektif dilakukan, akan muncullah budaya demokratis yang diharapkan.







BAB II
BAHASAN PERBANDINGAN

2.1  Legitimasi Kekuasaan Pemerintah
2.1.1    Jurnal Demokrasi Dan Sisitem Pemerintahan
Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sebuah kekuasaan dari rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Dalam konteks Indonesia konstitusi yang menjadi pegangan adalah UUD 1945, jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua kali, pertama pada pembukaan alenia keempat, kedua pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan berbunyi, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas mendasar pada pemerintahan demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat.
            Sistem Pemerintahan
                       Sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara atau tiga poros kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Sementara Sri Soemantri menyebutkan sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan quasi.Sistem ini diartikan sebagai sistem pemerintahan yang mengandung unsur-unsur yang terdapat sistem presidensil maupun yang terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer.

2.1.2        Book Report
Legistimasi etis (filosofis) adalah penyempurnaan akhir dari kemauan dan kemampuan berkuasa. Walaupun seorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak legitimasi  sebagai background kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitismasi etisnya. Tanpa legistimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan, suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggun waktu untuk dijatuhkan. Apakah itu lewat cara pemberontakan sosial atau demonstrasi , revolusi atau reformasi, maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, yang jelas akan ada gerakan reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi peyang rtanggungjawaban politiknya yang konkret dan etis.
Suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen)  negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan program yanglangsung menyentuh rakyat, rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adaah ukuran utama dalam menilai kemampuan legistimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang legitim (sah) tidak selalu cakap dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.

2.1.3 Perbandingan
Dapat terlihat dari jurnal demokrasi dan sistem pemerintahan, bahwa sistem pemerintahan demokrasi dipegang oleh rakyat. Rakyat akan melahirkan sebuah peraturan dan melindungi hak-haknya. Itu tertera pada pembukaan UUD 1945 pada alenia keempat dan pada pasal 1 ayat (2). Sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara atau tiga poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sedangkan dalam book report, suatu legistimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legistimasi itu tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen)  negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabalitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan program yanglangsung menyentuh rakyat, rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adaah ukuran utama dalam menilai kemampuan legistimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang legitim (sah) tidak selalu cakap dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.

2.2  Sejarah Teori Kedaulaatan
2.2.1 Jurnal Kedaulatan Negara
Ajaran filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah bahwa, kedaulatan merupakan kekuasaan absolut atas susatu wilayah tertentu. Kekuasaan absolut atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi pembentukan negara  Pemahaman tentang konsep kedaulatan negara ini sangat membantu dalam mencermati dan mengevaluasi kedudukan Negara dalam konteks hubungan internasional yang
sangat dinamis. Dalam wacana akademik, tampaknya tidak dapat ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Terminologi kedaulatan memiliki beragam makna dan penafsiran. Istilah kedaulatan seringkali diberi makna berbedabeda oleh akademisi, jurnalis, politisi, pejabat internasional, juris dan kalangan lain dengan latar belakang  profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga berbeda-beda.  Istilah ini dapat memiliki makna berbeda bagi orang yang berbeda, yang masing-masing memiliki latar belakang beragam pula. Istilah kedaulatan mungkin memiliki makna berbeda dalam ilmu hukum, ilmu politik, sejarah,  filsafat, dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengannya. Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat merujuk pada kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi, kedaulatan hukum internasional, dan kedaulatan negara yang absolut. Kedaulatan sebagai konsep yang menunjuk pada kekuasaan utama dan tertinggi untuk memutuskan dapat dianalisis dan dikualifikasikan berdasarkan perspektif/sudut pandang unsur-unsur yang berhadapan (diametral), yaitu kedaulatan hukum atau kedaulatan politik, kedaulatan internal atau eksternal,  kedaulatan yang tunggal atau kedaulatan yang dapat dibagi : kedaulatan pemerintah atau rakyat.
James J Sheehan mengemukakan pandangan yang sangat kritis, bahwa salah satu permasalahan terkait konsep kedaulatan (sovereignty) adalah tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep politik, namun demikian, tidak seperti halnya konsep tentang demokrasi atau monarki, kedaulatan bukanlah tentang tempat kekuasaan itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen atau birokrasi, karena kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan. Kedaulatan juga tidak dapat disamakan dengan tertib hukum (order) maupun keadilan (justice) karena kedaulatan tidak menggambarkan tujuan dari pelaksanaan kekuasaan. Kedaulatan adalah suatu hal dan meliputi banyak hal (the one or the many) Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan politik dan bentuk-bentuk otoritas lainnya. Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati bahwa : pertama, kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka organisasi atau otoritas lain di dalam masyarakat seperti religius, kekeluargaan dan ekonomi,  kedua, kedaulatan menegaskan bahwa otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas (autonomous and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior) dari institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan independen atau bebas dari pihak luar.
2.2.2        Book Report
Ajaran kedaulatan yang dikemukakan oleh Bodin ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan sejarah politik yang bergeser dari kuatnya kekuasaan system monarki (kerajaan) menuju system demokrasi (kedaulatan rakyat) yang masih disanjung tinggi hingga penghujung millennium ketiga saat ini. Istilah kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dan Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana untuk menunjuk pada suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang dahulu sangat absolute telah runtuh legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang digunakan dalam istilah “demokrasi” (demos = rakyat= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule).
Dalam perkembangannya kemudian para ahli beranggapan bahwa untuk menentukan kekuasaan tertinggi dalam negaranya, tidak dapat dilepaskan dari alasan teoritis atau anggapan yang menjadi dasar dari adanya suatu Negara. Dengan perkataan lain, teori-teori kedaulatan akan senantiasa bertalian dengan teori-teori mengenai pembenaran (legistimasi) Negara (rechtsvaavrdigingstheorien)yang dipandang dari segi sosiologis (secara menyeluruh = Ganzheit).
2.2.3        Perbandingan
            Jika didalam jurnal dijelaskan bahwa  satu permasalahan terkait konsep kedaulatan (sovereignty) adalah tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep politik, namun demikian, tidak seperti halnya konsep tentang demokrasi atau monarki, kedaulatan bukanlah tentang tempat kekuasaan itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen atau birokrasi, karena kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan. Sedangkan didalam book report Istilah kedaulatan yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dan Jerman, Sovereignty atau souvereiniteit, paling ekstrim dalam perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkn secara sederhana untuk menunjuk pada suatu kekuasaan tertinggi. Pergeseran kekuasan raja yang dahulu sangat absolute telah runtuh legitimasinya dan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang digunakan dalam istilah “demokrasi” (demos = rakyat= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule). Di dalam book report di sebutkan pula bahwa ada beberapa teori kedaulatan, yaitu :
a)    Teori Kedaulatan Tuhan
b)   Teori Kedaulatan Raja
c)    Teori Kedaulatan Rakyat
d)   Teori Kedaulatan Negara
e)    Teori Kedaulatan Hukum
f)    Teori Kedaulatan Pluralis

2.3      Sejarah Demokrasi
2.3.1        Jurnal Demokrasi Indonesia dari Masa ke Masa
1.      Paradoks Masa Orde Lama

Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi seperti dikatakan Apter, persoalan demokrasi adalah semata-mata merupakan penciptaan manusia, yang di satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia. Beranjak dari semangat dan kerangka proposisi di atas, maka melumernya corak demokratik dan egaliter—sebagai cita-cita sesungguhnya budaya Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Dapat diambil contoh  kasus ketika terjadinya proses pemindah-alihan kekuasaan beamtenstaal Belanda ke tangan Republik, ternyata justru tidak membawa perubahan yang berarti.  Perubahanperubahan yang terjadi lebih banyak bergerak pada peringkat estesis-simbolik ketimbang etissubstantif. Semangat egaliterian budaya demokratik yang terpatri dalam angan-angan masyarakat menjadi sirna, setelah pernyataan kemerdekaan dicoba untuk diwujudkan secara politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan parlementer, dan secara ekonomis dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas menengah pribumi yang kukuh  Obsesi dari pilihan politik dan ekonomi semacam ini adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu menopang tegaknya masyarakat berdaya (civil society). Jika hal ini dapat terwujud diharapkan demokrasi akan menampakkan dirinya secara nyata.
Namun sayangnya, persyaratan yang hendak diwujudkan tersebut, terutama adanya kelas menengah yang kuat sebagai aktor sentral untuk menopang demokrasi, tidak ditemukan. Pembangunan semesta yang dicanangkan Presiden Soekarno untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional yang bercorak lebih sosialis terbukti gagal total, akibat tidak adanya dukungan struktur politik yang mapan dan demokratis. Kelas menengah yang diharapkan akan lahir pun sulit diketemukan. Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat itu. Maka kemudian, Soekarno mencoba sistem Demokrasi Terpimpin, yang katanya menjadi demokrasi khas Indonesia. Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun praktik yang meluas dalam kehidupan bangsa dan negara justru adalah kekuasaan yang serba terpusat (sentralistik) pada diri Soekarno. Bung Karno selaku Presiden bahkan memperagakan pemerintahan diktator dengan membubarkan Konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan lawanlawan politiknya yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa Orde Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965.

2. Masa Orba
Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut, unsur-unsur "di luar" masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Demokrasi Indonesia di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan demokratik dari budaya bangsa Indonesia dan kemudian digantikan oleh corak feodalistik, yang dimungkinkan karena dua hal pokok (Suharso, 2002). Pertama, melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan  pemberian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya berkaitan dengan kenyataan di
masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak. Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran politik massa.
Yang terjadi kemudian adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan lewat Soeharto, MPR, DPR,Pers, Partai Politik, Ormas dan hampir seluruh institusi sosial politik kenegaraan yang "dipasung" secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam situasi seperti itu adalah demokrasi semu, "demokrasi jadi-jadian". Paradoks demokrasi ini pada akhirnya juga runtuh pada tanggal 21 Mei 1998.

3  Reformasi
Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak
parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya.  Yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada
korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada system otoritarian dan militeristik?

2.3.2         Book Report
Sejarah demokrasi juga tidak dapat dilepaskan dari masalah pembahasan mengenai bentuk pemerintahan Negara ( form of government ). Peninjauan masalah bentu Negara merupakan pembahsan mengenai dalam bentuk apa organisasi Negara itu menjelma dalam masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan pembahsannya merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan yuridis.
2.3.3        Perbandingan 
            Jika di dalam jurnal di jelaskan bahwa sejarah munculnya demokrasi yaitu terbagi dala beberapa masa/ paradoks. Diantaranya yaitu pada masa orde lama, orde baru, dan juga era reformasi. Akan tetapi jika di dalam book report di sebutkan bahwa sejarah demokrasi tidak dapat dilepaskan dari masalah pembahasan mengenai bentuk pemerintahan Negara (form of government).

2.4      Teori Politik Tentang Demokrasi          
2.4.1        Jurnal Teori Politik Dan Ideologi Demokrasi
1)      Teori Demokrasi Substantif.
Mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah " kehendak rakyat (the will) of the people ; kebaikaan bersama dan kebajikan publik (the common good). Dengan demikian demokrasi dilihat dari sisi sumber dan tujuan. Demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi, berupa, jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan mereka. Teori demokrasi substantif ini bersifat normatif, rasionalistik, dan idealistik.

2)      Teori Demokrasi Schumpetarian
Pandangan demokrasi substantivist (klasik) yang menekankan demensi sumber dan tujuan- mendapatkan sanggahan dari Joseph Schumpeter dalam bukunya berjudul "Capitalism, Socialism and Democracy" yang terbit tahun 1942. Dalam buku itu, Schumpeter menyatakan secara rinci kekuarangan teori demokrasi klasik serta mengemukan teori lain mengenai demokrasi. Menurut Schumpeter, yang oleh teorisasi klasik disebut kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya. Dengan demikian, berbeda dengan klasik, Scumpeter lebih menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. Sehingga, konsep demokrasi Schumpeter lebih bersifat empirik, dekriptif, instititusional dan prosedural. Karena menekankan prosedural maka konsep demokrasi shumpeter disebut juga demokrasi prosedural.
Oleh Schumpeter metode demokrasi dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Konsep Schumpeter mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak tahun
1970-an,  serta mewarnai pemikiran ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset. Warna Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi. Di Palma mengemukan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksitensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik. Senada dengan itu muncul karya Robert Dahl (1973) yang merumuskan tatanan politik yang disebut Polyarchy. Polyarchy merupakan istilah yang dikemukan
oleh Dahl untuk mengganti kata demokrasi. Bagi Dahl, demokrasi mengandung dua demensi kontestasi dan partisipasi. Karena menekankan dua demensi ini maka konsep demokrasi ini sering disebut demokrasi minimalis. Dalam melihat bagaimana demokrasi bekerja cukup dilakukan dengan dua ukuran minimal yaitu sebagai berikut :
a)      seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang memungkinkan
(Liberalisasi).
b)      seberapa banyak warganegara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu (Inclusiveness). Berdasarkan dua demensi tersebut, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: hegemoni tertutup (kompetisi dan partisipasi sama-sama rendah) ; oligarki kompetitif (kompetisi tinggi tetapi partisipasi rendah) ; hegemoni inklusif (partisipasi tinggi-kompetisi rendah) dan Poliarki (partisipasi dan kompetisi tinggi). Adanya jaminan untuk membentuk dan bergabung pada organisasi, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan.Senada dengan Dahl, Diamond, Linz dan Lipset merumuskan demokrasi sebagai suatu system pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok :
a.    kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang mempunyai kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa.
b.   Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang dislenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok yang dikecualikan.
c.    Kebebasan sipil dan politik; kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.

3)      Demokrasi Prosedural yang diperluas
Penekanan demokrasi Schumpeter pada sisi procedural membuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang "kekeliruan elektoralisme" dimana demokrasi Schumpeterian mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing datam memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti perlindungan pada kelompok-kelompok marginal dan minoritas). Kritik ini juga diarahkan pada munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu). Kritik ini menimbulkan konsep demokrasi prosedural yang diperluas dengan menambahkan demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekanan pada demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond, yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi :

a.  Kontrol terhadap negara, keputusan dan alokasi sumberdaya dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih;
1)      Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan faktual oleh kekuasaan otonom institusi pemerintahan yang lain.
2)      Kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu.
3)      Adanya kesempatan pada kelompok-kelompok minoritas untuk mengungkapkan kepentingannya.
4)      Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan independen.
5)      Tersedianya sumber informasi alternative.
6)      Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat.
7)      Setia warga negera mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum.
8)      Kebebasan indivisu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independen dan tidak diskriminatif.
Universitas Gadjah Mada
9)      .Rule of law melindungi warga negara dari penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasna dalam kehidupan pribadi baik oleh warga negara maupun kekuatan non organisasi non negara dan anti negara.

4 .Teori Demokrasi Sosial
Konsep demokrasi prosedural-liberal yang hanya menekankan demensi politik
(demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme.
Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut demensi persamaan dan
kebebasan melainkan mengandung didalamnya konsep keadilan sosial.
Dalam pandangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud
ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara struktural
mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh
kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu.
Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimbulkan
paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep
demokrasi minimalis. Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico paska transisi dari rezim otoriter.

2.4.2        Book Report
            Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah bahasan dan renungan atas :        (a) tujuan dari kegiatan politik, (b) cara-cara  mencapai tujuan itu, (c) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu, (d) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Tiga model teori demokrasi dalam klasifikasi Gould, yaitu :
(1) model indivudualisme liberal
(2) model pluralisme 
(3) model sosialisme holistik.
2.4.3        Perbandingan
Dapat dilihat perbedaan antara jurnal dengan book report, bahwa pada book report dijelaskan mengenai teori politik dan juga beberapa model teori demokrasi secara rinci. Adapun model teori demokasi yang dijelaskan dalam book report yaitu, model individualisme liberal, model pluuraisme, dan model sosialisme holistik. Sedangkan jika di lihat isi/penjelasan dari jurnal maka didapatkan beberpa macam teori mengenai demokrasi diantaranya yaitu teori demokrasi subtantif, teori demokrasi Schumpetarian, dan teori demokrasi procedural yang diperluas.

2.5    Metodelogi Demokrasi
2.5.1        Jurnal Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi Di Indonesia
Metode demokrasi berjalan dimulai dengan adanya kebebasan hak pilih setiap warga Negara untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Prinsip suara mayoritas merupakan hal yang essensial untuk mencapai keputusan dalam konsep demokrasi. Prinsip Mayoritas paling sedikit terdiri dari 3 tipe: 1) Mayoritas absolute, yaitu setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; 2) Mayoritas biasa, yaitu apabila keputusan disetujui oleh sebanyak-banyak suara sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan
minoritas; 3) Mayoritas bersyarat, yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu seperti, 2/3 atau 3/4 suara.
Esensi dari ke tiga tipe kaidah mayoritas ini tetap sama, yaitu suara mayoritas adalah pemenang dari proses pembuatan keputusan yang bebas dan berkesamaan itu. Model pengambilan keputusan demokratis lainnya yang mendasarkan diri pada tahap-tahap perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Sistem Konsensus: yaitu setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum keputusan itu dilakukan. Jadi, sistem ini menghendaki suatu keputusan secara bulat; 2) Sistem Ganda atau Bergilir: sistem ini ditemukan pada bentuk demokrasi – ganda yang ditandai dengan adanya perwakilan secara bergiliran dari dua kelompok besar keluarga atau klan. Sistem ini menganut sistem dwipartai dan tidak didasarkan atas pemilihan umum melainkan pergiliran kekuasaan belaka;
3) Sistem Mayoritas: sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas untuk menentukan suaramayoritas. Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern
2.5.2        Book Report
Metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat” dan “Keinginan rakyat adalah hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dari proses politik itu” serta tidak terdapat dugaan bahwa (1) ada kebutuhan bagi ukuran moral dalam keputuan-keputusan tersebut (2) keputusan-keputusan tersebut berhubungan dengan keinginan yang dikehendaki rakyat (3) da satu tututan pertanggungjawaban rakyat dalam seluruh proses tersebut.

  
2.5.3        Perbandingan
Perbandingan antara jurnal  kajian filsafat hukum tentang demokrasi di Indonesia dengan book report yaitu apabila didalam book report di jelaskan mengenai
pengambilan hukum yang merepresentasikan pengambilan kebenaran dan keadilan yang akan dituangkan dalam format yuridis (hukum positif yang berlaku). Putusan yang diambil itu adalah’kebenaran dan keadilan’yang dipersepsi oleh rakyat melalui persepsi wakil-wakilnya (dalam demokrasi perwakilan). Sedangkan di dalam jurnal  model pengambilan keputusan demokratis lainnya yang mendasarkan diri pada tahap-tahap perkembangan masyarakat seperti sistem consensus, sistem ganda/bergilir dan juga sistem mayoritas bersyarat.

2.6      Demokrasi dalam Perspektif Etika
2.6.1        Jurnal Etika Politik dalam Negara Demokrasi
Etika politik termasuk dalam kelompok etika sosial yakni yang membahas norma-norma moral yang seharusnya menimbulkan sikap dan tindakan antar manusia, karena hampir
semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Etika politik tidak menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara. Etika bersifat reflektif yakni memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana masalah masalah kehidupn dapat dihadapi,tetapi tidak menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya. Dengan demikian etik politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya . Karena kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikan manusia sebagai warga negra tidak identik. Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan pemikiran pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, rasional, objektif dan argumentatif. oleh karena itu tugas etika politik subsider dalam arti membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologi dapat dijalankan dengan objektif artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua pihak yang mengerti permasalahan. Etika politik dapat memberikan patokan-patokan, orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang ingin menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia .
Selain itu etika politik dapat berfungsi sebagai sarana kritik ideologi (bukan Negara dan hukum) berupa paham paham dan strategi legitimasi yang mendasari penyelenggaraan negara. Jadi etika politik hanya dapat membantu usaha masyarakat untuk
mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Misalnya, dengan merefleksikan inti/ hakikat keadilan sosial, bagaimana kekuasan harus ditangani agar sesuai dengan martabat manusia.
2.6.2        Book Report
Etika politik demokrasi disini berupaya mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat mayoritas. Kehendak rakyat yang dikontruksi lewat suara mayoritas yang bebas dan memiliki kesamaan hak politik itu dapat menjadi legitimasi bagi kekuasaan politik dan tindakan politik (legitimasi sosio-politik).
2.6.3        Perbandingan
            Di dalam jurnal menjelaskan tentang fungsi etika politik dalam kehidupan bernegara. Sedangkan jika di dalam book report etika politik demokrasi disini berupaya mengajarkan kehendak suara mayoritas untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan menurut persepsi rakyat (wakil rakyat) dan terutamanya rakyat mayoritas.
  


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Dalam proses analisis kritis terhadap demokrasi teoritis sebagai ajaran moral mengenai tatanan politik, maka penggunaan filsafat menjadi sangat penting untuk memahami hakikat eksistensial dari demokrasi. Setelah menemukan pengertian filosofis dari demokrasi barulah di telaah titik lemahnya dari perspektif etika. Jika secara teoritis demokrasi tidak memadai dari sisi etika, maka ia tidak berhak untuk diklaim sebagai teori politik yang etis atau sebagai landasan bagi etika politik modern. Upaya transformasi menuju kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip etika dasar menjadi jalan keluar agar demokrasi tidak cepat usang menghadapi kritik filsafat pada masa ini.
                          Demokrasi adalah spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dangan segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis.Lebih lanjut dapat dipahami bahwa demokrasi ingin mengawinkan antara fenomena politik, hukum, dan moral itu dalam suatu kontruksi teoritis yang modern.Pengertian umum itu menurut penulis telah mencakup unsur-unsur umum yang konvergen sebagaimana telah dikemukakan oleh banyak penulis.
Demokrasi diklaim sebagai salah satu prinsip dari etika politik modern yang utama, disamping konsep tentang hak-hak asasi manusia, konsep distributive justice, good governance, civil society, dan lain-lain. Jadi, perlu kita pahami bahwa sering kali ada klaim yang tertolak bahwa suatu praktik politik yang etis dan modern harus di dasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya suatu praktik politik yang etis mestilah demokratis.


DAFTAR PUSTAKA

Elly Noviati, Cora. 2013. Jurnal : Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Di unduh pada 25-04-2018  pukul 15.15 WIB.
Febria Nurita, Rizky. 2011. Jurnal : Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta. Di unduh pada 27-04-2018 pukul 19.05 WIB.
Hariantati, Runi. 2003. Jurnal : Etika Politik dalam Negara Demokrasi. Bandung. Di unduh pada 25-04-2018 pukul 15.18 WIB.
Hendrawanto. 2010. Jurnal : Teori Politik dan Ideologi Demokrasi. Jakarta. Di unduh pada 25-04-2018 pukul 15.25 WIB.
Nurtjahyo, Hendra. 2008. Filsafat Demokrasi. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Purnaweni, Hartuti. 2006. Jurnal : Demokrasi Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta. Di unduh pada 25-04-2018 pukul 15.30 WIB.
Riyanto, Sigit. 2013. Jurnal : Kedaulatan Negara. Bandung. Di unduh pada 27-04-2018 pukul 19.15 WIB.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Story Telling

Pengaruh Kegiatan Story Telling Terhadap Pertumbuhan Minat Baca di TK Raudhatul Athfal Perwanida 3 Palembang         Disusun Oleh: Netty Cayati (1730403060) Dosen Pengampu : Rani Kurnia Vlora, S.IP; M.A PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2018 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah suatu proses belajar mengajar merupakan suatu proses berkesinambungan dan tidak terbatas pada penyampaian materi pelajaran di kelas, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana agar materi yang diterima siswa di kelas dapat diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu diperlukan keterampilan mengajar yang baik. Tugas dan tanggung jawab utama seorang guru/ pengajar adalah mengelola pengajaran dengan lebih efektif, dinamis, efisien, dan positif, yang ditandai dengan adanya kesada...

Makalah Katalog

Penggunaan Katalog Manual Dalam Proses Temu Kembali Informasi Pemustaka Di Yayasan Nurul Iman Sekip Jaya, Palembang Oleh Nama                         :   Netty Cayati Nim                :   (17 30403060 ) Kela                :   17 Pus B Mata Kuliah Pengkatalogan Buku Dan Non Buku Dosen Pengampu Rani Kurnia V lora, S.IP, M.A PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN 2018      I.           PENDAHULUAN ABSTRAK K atalog perpustakaan adalah suatu daftar yang sistematis dari buku dan bahan-bahan lain dalam suatu perpustakaan, dengan informasi deskripti...

semangat

Jalani hidup ini dengan menerima apa yang telah di tentukan dari yang Maha Kuasa. Tak perlu banyak mengeluh