BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolak ukur
keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan
asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain
bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini
dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari
semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan
dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi
ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir
manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan
sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia
bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir
melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat
penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa
melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan
demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya
membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para
pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan
rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam
masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang
mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi
eksternal. [1]
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian
sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika
sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai
sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab
berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua
kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di
Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali
kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan epistimologi?
2.
Apa saja yang ada dalam sumber pengetahuan epistimologi?
3.
Sebutkan model-model dalam penalaran epistimologi?
4.
Apa yang di maksud dengan objek epistimologi?
5.
Jelaskan bagaimana struktur dari pengetahuan epistimologi?
6.
Bagaimana cara untuk mengetahui teori kebenaran epistimogi?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian epistimologi
2.
Untuk mengetahui sumber pengetahuan epistimologi
3.
Untuk mengetahui model-model penalaran epistimologi
4.
Untuk mengetahui objek pengetahuan estimologi
5.
Untuk mengetahui struktur pengetahuan epistimologi
6
Untuk mengetahui teori kebenaran epistimologi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Epistemologi
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier,
untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau
pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi
perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika
mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, bukan saja
pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.[2]
Runes dalam
Ahmad Tafsir (2004:23) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of
philoshophy which investigates the origin, structure, methods and validity of
knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat
pengetahuan karena ia membicarakan pengetahuan.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan.
Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan
pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang
terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan
memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu
menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa
memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar
tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori
belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi
hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu
konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang
sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara
etimologi, istilah epistemologi
berasal dari kata Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya)
pengetahuan.
Pengertian Epistemologi menurut para ahli :
1. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa
yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
a)
Bagaimanakah
manusia dapat mengetahui sesuatu?;
b)
Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?;
c) Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori
(pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman).
2. Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia.
3. Menurut
Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada
suatu obyek kajian ilmu.
4.
P.Hardono Hadi menyatakan,
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
5.
D.W Hamlyn
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta
secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.
6. Inti pemahaman dari kedua pengertian
tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan
adalah bahwa pengertian yang
pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua
tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat
pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang
hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini
akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan
idealisme.
7. Pengertian
epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes.
Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber,
struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
8.
Azyumardi Azra
menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas
ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
tetapi kedua pengertian ini
memiliki sedikit perbedaan, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang
relatif lebih mudah dipahami.
2.2 Sumber Pengetahuan Epistimologi
Pada dasarnya
terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Sedangkan Sumber pengetahuan itu sediri
adalah apa yang menjadi titik tolak atau apa yang menjadi objek pengetahuan.
Sumber itu dapat bersifat atau berasal dari “dunia eksternal” atau juga terkait
dan berasal dari “dunia internal” atau kemampuan subjek. [3]
Dalam sejarah
filsafat, Plato dan Aristoteles adalah dua filsuf yang memiliki pandangan yang
berbeda terkait sumber pengetahuan. Plato disebut juga sebagai seorang
rasionalisme klasik (sementara tokoh rasionalisme Modern adalah Descartes,
Spinoza, Leinbniz). Tokoh rasionalisme ini berpandangan bahwa sumber
pengetahuan itu adalah rasio. Dengan kata lain, rasionalisme menempatkan posisi
rasio (akal) sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum
rasionalis percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai
pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang (a)
apa yang “ada” (tentang realitas) dan strukturnya serta (b) tentang alam
semesta pada umumnya (Bagus, 1996: 928-929).
Menurut kaum
rasionalis, realitas dan beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai
tanpa tergantung pada pengamatan (pengalaman) atau tanpa menggunakan metode empiris.
Karena itu, pengetahuan seperti ini sering disebut pengetahuan a priori (a
priori knowledge, neceserry knowledge) –a priori: a = dari, dan prior= yang
mendahului, berarti tidak tergantung atau mendahului pengalaman. Jadi
pengetahuan a priori artinya pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui
pengalaman. Adapun cara kerja kaum rasionalis adalah berdasarkan penalaran
deduktif, logis, dan matetamtis.
Sementara itu,
Aristoteles berpandangan besebrangan dengan gurunya, Plato. Baginya, sumber
pengetahuan adalah pengalaman. Aristoteles adalah tokoh empiris klasik
(sementara itu tokoh-tokoh empiris Modern seperti Fancis Bacon, Jhon Lock,
Berkeley, David Hume). Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
harus didasarkan atas metode empiris eksperimental, sehingga kebenarannya dapat
dibuktikan. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam perkembangan berikutnya
kelak berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan pembendaan antara
ilmu pengetahuan (science) dengan non-ilmu melalui kriteria verifikasi.
Dalam epistemology Barat, dua pandangan ini,
yakni rasionalisme dan empirisme, merupakan dua aliran yang paling banyak
diterima dan paling dominan di antara sumber pengetahuan lainnya. Namun, di
samping dua pandangan tersebut, ada juga beberapa pandangan yang menyebutkan
sumber pengetahuan di luar rasionalisme dan empirisme tersebut. Bertrand
Russell, membedakan 2 macam pengetahuan. Yaitu pertama adalah pengetahuan
melalui pengalaman (knowledge by acquaintance) di antaranya yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui (a) data indrawi (sense data), (b)
benda-benda memori (objects of memory), (c) keadaan internal (internal
states) dan (d) diri kita sendiri (ourselves). Adapun yang kedua
adalah pengetahuan melalui melalui deskripsi (knowledge by description),
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
(a) orang lain dan (b) benda-benda fisik, namun bukan hasil pengamatan
akan tetapi konstruksi (Hunnex, 1986: 3)
Adapun Ted
Honderich (1995: 931) mengemukakan beberapa sumber pengetahuan (sources of
knowledge). Honderich mengemukakan bahwa rasionalisme, dan empirisme
termasuk sumber pengetahuan. Namun selain dua hal tersebut Honderich juga
memasukan sumber-sumber pengetahuan yang lain yakni memory, introspection,
precognition serta sumber-sumber lain.
Adapun R.John
Hospers (1967) juga mengemukakan sejumlah sumber pengetahuan adalah: sense
experience (pengalaman pribadi), rason (akal-budi), authority
(otoritas), intuition (intuisi), relevation (wahyu) dan faith
(keyakinan).
Seperti yang
terlihat ada pandangan yang sama ada juga yang berbeda terakit dengan sumber
pengetahuan antara Hosper dan Honderich. [4]
Di makalah ini
akan diterangkan sebisa mungkin menyangkut sumber-sumber pengetahuan yang di
cantumkan oleh Hosper dan Honderich.
1.
Perception
(persepsi/ pengamatan indrawi)
Persepsi
adalah hasil tanggapan indrawi terhadap fenomena alam. Adapun istilah yang
lebih umum untuk istilah persepsi ini adalah empiri atau pengalaman (empeiria;
experiential). Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang diterima dalam epistimologi
(Barat dan Islam).
2.
Memory
(ingatan)
Pengetahuan,
baik secara teoritis maupun praktis, banyak sekali mengandalkan ingatan.
Pengalaman langsung ataupun tidak langsung harus didukung oleh ingatan agar
hasil pengalaman itu dapat disusun secara logis dan sitematis (menjadi
pengetahuan).
3. Reason (akal, nalar)
Akal diterima sebagai salah satu sumber
pengetahuan. Adapun pikiran atau penalaran adalah hal yang paling mendasar bagi
kemungkinan adanya pengetahuan. Penalaran adalah proses yang harus dilalui
dalam menarik kesimpulan. Ada hubungan yang erat antara metode (metodologi)
dengan logika (penalaran).
4. Intropection
(introspeksi)
Introspeksi
juga dianggap sebagai sumber pengetahuan di mana manusia mendapatkan
pengetahuan (pengetahuan atau pemahaman terhadap sesuatu) ketika ia mencoba
melihat kedalam dirinya. Socrates pernah menyatakan “Kenalilah Dirimu Sendiri”.
Intuisi adalah
“tenaga rohani”, suatu kemampuan yang mengatasi rasio, kemampuan untuk
menyimpulkan serta memahami secara mendalam. Intuisi adalah pengenalan terhadap
sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi logis (deduksi-induksi).
Intuisi merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara tiba-tiba dan
secara langsung.
6. Authority
(otoritas)
Otoritas
mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap memiliki pengetahuan sahih
dan memiliki legitimasi sebagai sumber pengetahuan. Ototitas juga dapat
berasosiasi atau berate negatif bila otoritas itu bersifat dominasi, menindas
dan otoritasnya tidak abash. Otoritas ini dapat memasuki dunia politik,
kehidupan religius dan moral.
7. Precognition
(prakognisi)
Prakognisi
ialah kemampuan untuk mengetahui sesuatu peristiwa yang akan terjadi.
8. Clairvoyance
Clairvoyance
adalah kemampuan mempersepsi suatu peristiwa tanpa menggunakan indra. Seorang
ahli nujum mampu mengetahui barang anda yang hilang beberapa hari yang lalu,
maka orang ini memiliki kemampuan Clairvoyance.
9. Telepathy
(telepati)
Telepati adalah kemampuan berkomunikasi tanpa
menggunakan suara atau tanpa menggunakan bentuk simbolik lain, namun hanya
dengan kemampuan mental. Misalnya jika seseorang dapat mengetahui pikiran orang
lain tanpa menggunakan salah satu bentuk komunikasi.
2.3
Model-Model Penalaran Epistimologi
1.
Penalaran
Induktif
Adalah proses menarik kesimpulan yang berupa prinsip atau
sikap yang berlaku umu berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.
Dalam penalaran induktif pun masih terdiri dari 3 bentuk
penalaran :
a.
Generalisasi
Adalah proses penalaran yang tidak sesuai dengan peristiwa
individual dalam menuju kesimpulan umumnya.
Contoh :
-
Bunga
mawar terlihat cantik, dan baunya harum.
-
Bunga
melati bunga yang cantik dan baunya harum.
Generalisasi
: Semua bunga cantik berbau harum
Pernyataan
“Semua bunga cantik berbau harum” hanya memiliki tingkat kebenaran yang masih
mungkin, karena kebenarannya pun juga belum diselidiki. Contoh kesalahan :
Bunga bangkai juga cantik, namun baunya tidak harum.
b.
Analogi
Adalah cara penarikan kesimpulan dari sebuah penalaran
dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat sama. Analogi memiliki empat
fungsi, yakni :
1) Membandingkan beberapa orang yang
memiliki kesamaan sifat
2)
Meramalkan
kesamaan
3) Menyingkapkan kekeliruan
4) Mengklasifikasi
Contoh :
Jangan kita seperti katak dalam tempurung,
yang kita merasa hebat dalam wilayah kita sendiri, namun sebenarnya kita
belumlah apa-apa karena masih banyak yang belum kita ketahui di luar sana.
c.
Hubungan
Kausal
Adalah penalaran yang didapat dari gejala-gejala yang saling
berhubungan. Penalaran hubungan kausal masih terdiri dari tiga macam lagi :
a) Sebab – akibat : Andi tidak hati-hati dalam mengendarai
sepeda motor, sehingga menjadikan ia mengalami kecelakaan.
b) Akibat – sebab : Perut Ani sakit karena tadi pagi ia tidak
sarapan.
c) Akibat – akibat : Pak guru yang mengajar sejarah tidak
berangkat ke sekolah, sehingga nanti pelajaran sejarah akan kosong.
2.
Penalaran
Deduktif
Adalah suatu penalaran yang bermula dari peristiwa umum,
yang telah diketahui dan diyakini kebenarannya, dan menghasilkan kesimpulan
baru yang bersifat lebih khusus. Bentuk sederhana dari penalaran adalah
silogisme, yaitu proses penalaran dimana dari dua pernyataan ditarik dalam satu
pernyataa baru yang disebut konklusi.
Contoh :
§ Premis 1 : Jika matahari terik, maka
jemuran akan kering
§ Premis 2 : Sekarang jemuran kering
§ Konklusi : Maka matahari terik
3. Abduksi
Abduksi
adalah sebuah bentuk pembuktian berdasarkan silogisme. Pembuktian ini berbeda
pembuktian berdasarkan deduktif dan induktif. Sifat pembuktian ini lebih lemah
ketimbang pembuktian deduksi merupakan satu model penalaran ilmiah. Abduksi
adalah cara pembuktian abduksi bertolah dari sebuah kasus particular menuju
sebuah “penjelasan yang mungkin” tentang kasus itu.
Penalaran
abduksi ini tidak memberikan kepastian mutlak (probable). Misalnya, ada satu
kasus atau fakta A yang menimbulkan tanda tanya. Lalu diajukan hipotesis B.
jika hipotesa B benar, maka fakta A adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh
Karena itu, hipotesa B mungkin benar.
4. Dialektika
Dengan
menggunakan metode dialog, Socrates mengajak orang untuk mengajukan
pendapatnya. Ia menyadari melalui dialog itu akan diperoleh atau diungkap
kekurangan atau ketidakbenaran pengetauan dan lalu hasilnya dari pendapat itu
dapat dirumuskan satu kebenaran. Metode Socrates ini lebih dikenal dengan
dialektika’ tekhne atau seni berdialog. Dengan berdialog dapat dilakukan
proses: membandingkan, menyisihkan, memperjelas, hingga menolak kemudian baru
ditarik pengertian umum. Metode Socrates tersebut mencoba menjernihkan
keyakinan orang, menjernihkan konsep dan pengertian; meneliti apakah seseorang
melihat konsistensi dan tidak jelas, Karena itu disamping disebut metode
dialektika, metode ini juga disebut metode kritis. Yang dicari Socrates lewat metode
tersebut adaah hakikat, rumusan analitis yang menjelaskan kodrat atau susunan
esensial dari segala sesuatu.
2.4
Objek Pengetahuan Epistimologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang
pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu
bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan
tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan.
Meskipun berbeda, tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan,
sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Objek epistemologi ini menurut Jujun
S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang
menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa
suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan,
maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[6]
Jacques Martain mengatakan:
“Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan,
bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari
tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin
memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
2.5
Struktur Pengetahuan Epistimologi
Struktur atau
situasi pengetahuan (the knowledge situation) membahas bagaimana
hubungan antara ilmuan (the knowler,self) dengan sense atau data
(experience) atau hal/objek yang diketahui (things known, world)
(Hunnex, 1986: 8). Stuktur pengetahuan disebut juga situasi pengetahuan atau
fenomenologi pengetahuan. Hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui tergambar dari beberapa pandangan. Beberapa pandangan tersebut adalah
objektivitas, subjektivitas, skeptisisme, relativisme, fenomenalisme.
1.
Objektivisme
Pendukung
objektivisme berpendapat bahwa objek-objek fisis yang diobservasi/teliti
bersifat independen dihadapan subjek yang meneliti/ mengetahui. Realitas, data,
sensasi adalah sama atau satu. Dengan demikian, subjek yang mengetahui hanya
mencerminkan realitas apa adanya. Pandangan ini biasanya disebut dengan
realisme naif (naïve realism). Kaum objektivisme ini berpendapat bahwa
subjek (ilmuan) bersifat fasif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Objek
justru dianggap paling berperan posisi ilmuan hanya seperti cermin yang
memantulkan realitas luar secara apa adanya. Aliran empirisme dan positivisme
umumnya menerima pandangan objektivisme ini. Pandangan seperti ini disebut dengan
realisme epistemologis atau monism epistemology.
2.
Subjektivisme
Subjektivieme
adalah pandangan yang menekankan peran unsur/dimensi subjek dalam menghasilkan
pengetahuan. Pengetahuan kita merupakan ide-ide dalam pikiran orang yang
mengetahui (the knower). Karena itu, tidak mungkin kita mengetahui
sesuatu (objek, fenomena) di luar ide-ide tersebut.
3.
Skeptisisme
Skeptisme
adalah paham yang menyatakan ketidakmungkinan untuk mencapai/ memperoleh
kebenaran objektif (akhir/final) pengetahuan/ilmu pengetahuan. Ada beberapa
macam skeptisme antara lain:
(a) Skeptisme
Solipisme: pandangan “egosentrisme epistemologi” yang berpendapat bahwa saya
hanya tahu diri saya ada, tapi tidak mengetahui sesuatupun di luar saya.
(b) Skeptisme
sensori: sensasi/persepsi bersifat reliable.
(c) Skeptisme
rasional: keraguan yang disebabkan paradok (Zeno) atau antinomi (Kant) pada
kesimpulan dan argument. Antinomi adalah dua pernyataan yang bertentangan dan
tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Misalkan pernyataan alam diciptakan atau
tidak diciptakan, telor lebih dulu ada daripada alam, adalah bentuk anitomi
yang akhirnya pilihan ditentukan oleh kepercayaan.
(d) Skeptisme
metodologis: keraguan sistematis dan sementara yang tujuan untuk menemukan
pengetahuan dan fundasi pengetahuan pengetahuan dan terpercaya.
4.
Relativisme
Pandangan
Protagoras, bahwa individu menjadi ukuran segala hal disebut “relativisme
epistemologi” karena ia menyatakan kerelatifan nilai kebenaran pengetahuan,
atau kebenaran relative terhadap subjek yang mengetahui, terhadap kelompok
masyarakat dan paradigma tertentu.
5.
Fenomenalisme
Fenomenalisme
(phenomenon=apa yang tampak) adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang diindrai atau gejala sebagaimana
tampak melalui pengamatan.
2.6
Teori Kebenaran Epistimologi
Dalam epistemology dan filsafat ilmu
pengetahuan dikenal sejumlah teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran
korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatis, teori
kebenaran performatif dan teori kebenaran paradigmatif. [7]
1.
Teori Kebenaran
Korespondensi
Teori
kebenaran korespondensi menyatakan bahwa suatu teori/ proposisi benar bila
proposisi atau teori itu sesuai dengan fakta (kenyataan). Kebenaran adalah
kesetiaan pada realitas objektif.
2.
Teori Kebenaran
Kosistensi Dan Koherensi
Dalam
teori konsistensi dan koherensi, kebenaran adalah adanya saling hubungan antar
putusan-putusan atau kesesuaian/ ketaat- asasan dengan kesepakatan atau
pengetahuan yang telah dimiliki. Teori kebenaran ini umumnya terdapat dalamn
matematika dan logika atau kelompok epistemology idealis. Bagi penganut teori
kebenaran ini, konsistensi suatu pernyataan atau teori dengan system pernyataan
sebelumnya sudah diandaikan kebenarannya dan menjadi tolak ukur kebenaran.
3.
Teori Kebenaran
Pragmatis
Pragmatisme
adalah aliran filasafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19 yang
menakankan akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem
solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis
ataupun praktis. Tokoh pragmatisme awal adalah Charles Sander Pierce
(1834-1914) yang dikenal juga dengan tokoh semiotic, William James (1842-1910)
dan John Dewey (1859-1952) (Honderich, 1995).
4.
Teori Kebenaran
Performatif
Teori
ini berasal dari John Langshaw Ausrin (1911-1960), seorang filsuf Inggris yang
mengemukakan teori tindak bahasa. Austin tidak begitu tertarik membicarakan
bahasa sebagai pemaparan ralitas (fakta atomik). Ia mengarahkan analisinya pada
pemakaian bahasa sehari-hari. Ia membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu
preposisi atau tuturan konstantif dan proposisi atau tuturan performatif dengan
aturan/kriterianya sendiri. Kebenaran performatif maksudnya adalah bahwa suatu
pernyataan dikatakan benar bila apa yang dinyatakan (oleh seseorang) dilakukan
sesuai dengan tindakan dan kewenangan yang ada padanya.
5.
Teori kebenaran
paradigmatis dan Konsensus
Teori
kebenaran paradigmatik dapat diturunkan dari konsep paradigm Thomas Samuel
Kuhn, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas paradiga tertentu. Dalam dunia ilmiah
ada sekelompok ilmuan (komunitas ilmuan) yang mendukung paradigm tertentu
(misalnya dalam psikologi: terdapat paradigm psikoanalisa, paradigma
behaviorisme, paradigm humanistik dan lain-lain). Ada kriteria berbeda satu
paradigm dangan paradigma yang lain, sehingga kebenaran tergantung pada
paradigma yang digunakan (paradigmatic).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia
berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat
yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu
lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu,
dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan
dasar.
Epistemologi (teori pengetahuan)
mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan
ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala
ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki
kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang
metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Persoalan epistemologi sangat
dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya
menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi
secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu
menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian
sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal
dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu
empirik
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. 2012. Filsafat Umum. PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
Ahmad
Tafsir. 2004. Filsafat Umum akal dan hati sejak thales sampai capra. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Akhyar
Yusuf Lubis. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers.
Suriasumantri,
Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Susanto,
A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
http://gerydoc.blogspot.com/2016/10/pengertian-epistomologi-objek-dan.html
di akses Minggu 23-09-2018
pukul 19.38 WIB
pengetahuan12345.blogspot.com/2015/11/epistemologi.html di
akses Minggu 23-09-2018 pukul 19..40 WIB
[1] Akhyar Yusuf Lubis. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga
Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 72
[2]
Susanto,
A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 17
[3]
Susanto,
A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 22.
[6]
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat
Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 53
[7]
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat
Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 58-59
Komentar
Posting Komentar